24 Juli 2009

Buku Sekolah (Gratis) yang Kutunggu...

Impian Jamal (37) untuk melihat—suatu saat kelak—anaknya menjadi pilot kini kian menipis. Begitu pun mimpi Ijah (48), yang berharap anak bungsunya bisa jadi wartawan, juga ikut pupus.

Impian itu berawal dari tayangan iklan pendidikan gratis di berbagai stasiun televisi. Menggunakan ikon artis cantik pemeran film Laskar Pelangi, iklan yang gencar ditayangkan menjelang pemilu lalu tersebut memang sedikit terkesan "provokatif".

Dalam iklan yang memanfaatkan bahasa Melayu "kacukan" itu digambarkan adanya pesimisme pada sebagian masyarakat terkait masa depan anak-anak mereka. Pangkal soalnya: biaya sekolah mahal!

Duduk di samping sopir angkutan perkotaan (angkot) jenis mikrolet, sang artis kemudian membesarkan hati pak sopir. Katanya, kini masyarakat tak perlu lagi khawatir. Sebab, dengan adanya pendidikan gratis, anak sopir angkot kini bisa jadi pilot. Dan, ketika angkot itu nyaris menyerempet penjual koran, sang artis segera berucap, "Anak pengantar koran pun bisa jadi wartawan."

Semua tersenyum, seolah telah diyakinkan bahwa mulai tahun ajaran 2009/2010 tak perlu lagi waswas soal biaya sekolah anak-anak mereka. Gratis!

Impian dan harapan memang telah ditebar. Sebagian masyarakat—terutama dari kalangan bawah, taruhlah orang-orang seperti Jamal dan Ijah—bahkan sempat dilambungkan harapannya bersama mimpi-mimpi mereka.

"Tapi begitu hari pertama masuk sekolah, ternyata sudah diminta uang untuk buku pelajaran senilai Rp 195.000," kata Jamal, warga Sukamulya, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten.

Bekas sopir angkot rute Ciputat-Bukit Indah ini mengira, mulai tahun 2009 biaya pendidikan bagi anaknya—yang kini duduk di kelas V SD negeri tak jauh dari rumah mereka—benar-benar gratis. Artinya, tidak perlu lagi bayar apa pun, termasuk buku sekolah.

Kalaupun harus keluar biaya, pikir Jamal, hanya untuk buku dan alat-alat tulis serta seragam sekolah. Perkiraan Jamal ternyata keliru besar. "Rupanya yang dikatakan sekolah gratis itu cuma tidak bayar SPP," ujarnya.

Ketika menyaksikan tayangan iklan "sekolah gratis" di televisi, ia mengaku memang sempat berharap anaknya juga bisa seperti bunyi iklan tersebut: menjadi pilot! "Sekarang harapan itu barangkali hanya tinggal harapan. Kalau untuk tamat SD (negeri) saja sudah berat begini, bagaimana di SMP, lalu SMA, dan setelah itu kuliah?" ujarnya.

Ijah pun memiliki anggapan dan harapan serupa. Seperti halnya Jamal, juga masyarakat awam pada umumnya, warga Kampung Bulak, Serua—juga di Tangerang Selatan—ini mengira apa yang dikatakan sekolah gratis berarti tidak lagi perlu keluar biaya untuk belajar di sekolah.

Oleh karena itu, ketika anak bungsunya, Yasir, disodori daftar buku pelajaran yang harus dibeli di sekolahnya senilai Rp 175.000, Ijah kaget. "Katanya sekolah gratis, tapi untuk anak kelas IV SD negeri saja masih harus bayar, ya," kata Ijah, buruh cuci pakaian di rumah warga perumahan tak jauh dari tempat kontrakannya.

Bagi masyarakat menengah-atas, uang Rp 175.000 memang tidak seberapa. Tapi, bagi Ijah yang masih harus membiayai pendidikan dua anaknya yang lain—masing-masing kelas I dan III SMK di daerah Pamulang, Ciputat—tentu sangat berat. Apalagi penghasilan sang suami yang bekerja serabutan tak tentu jumlahnya.

"Bagaimana, ya. Tadinya saya kira benar-benar gratis sehingga muncul setitik harapan, kelak Yasir bisa jadi pilot atau wartawan, seperti kata iklan di televisi itu," ujarnya.

Masih semu

Buku pelajaran alias buku sekolah memang salah satu komponen penunjang kegiatan belajar-mengajar yang banyak disorot setiap awal tahun ajaran. Kebijakan buku murah, apalagi gratis, tak kunjung terpenuhi.

Alhasil, setiap awal tahun ajaran para orangtua murid tetap dipungut uang buku. Besarannya bervariasi, mulai dari Rp 175.000 hingga Rp 450.000 per paket, terdiri atas 10-14 mata pelajaran. Ini untuk tingkat SD, uang buku untuk sekolah lanjutan (SMP dan SMA sederajat) bahkan ada yang dipungut hingga Rp 900.000.

Sejauh ini baru siswa (negeri) di wilayah DKI Jakarta yang sudah dibebaskan dari beban biaya buku pelajaran. Itu pun karena ditunjang dana bantuan operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI senilai Rp 60.000 per siswa per bulan.

Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai kebijakan sudah digulirkan oleh pemerintah. Saking "progresif"-nya, belum tuntas satu kebijakan diimplementasikan sudah muncul kebijakan lain. Kebijakan terbaru adalah yang kini dikenal sebagai BOS buku dan buku sekolah elektronik.

Pada era 1990-an memang muncul gagasan besar untuk mewujudkan kebijakan penyediaan satu buku untuk satu anak pada tiap mata pelajaran. Sayangnya, kebijakan bagus ini tidak jalan. Selain diretas kebijakan kepemimpinan di Depdiknas yang baru, program yang dibiayai Bank Dunia ini pun kabarnya dikorupsi.

Setelah itu muncul kebijakan masa pakai buku "lima tahun", tetapi ini pun tidak jalan. Hanya sampai pada tingkat wacana.

Deregulasi perbukuan melalui Peraturan Mendiknas, yang antara lain melarang penerbit dan sekolah "menjual" buku langsung kepada peserta didik—dengan ide besar untuk menghidupkan toko buku—juga tak seperti yang diharapkan.

Transaksi buku di sekolah-sekolah tidak pernah hilang. Nasib toko buku juga tak membaik. Itu pun untuk tidak menyebutnya kian memburuk. Sebab, menurut catatan Gabungan Toko Buku Indonesia, dalam 15 tahun terakhir lebih dari separuh toko buku—khususnya di ibu kota kabupaten/kota—gulung tikar.

Bersamaan digulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS), dalam perkembangannya juga menyertakan pengalokasian dana BOS untuk buku alias BOS buku. Akan tetapi, program ini sangat sedikit membantu meringankan beban peserta didik.

Pada tahun pertama kebijakan ini digulirkan bahkan tidak bermakna lantaran dana BOS buku keluar setelah pelaksanaan tahun ajaran berlangsung. Apalagi nilainya sangat kecil, hanya cukup untuk membiayai pembelian satu buku pelajaran.

Sejak tahun lalu, pemerintah kembali menawarkan kebijakan baru dalam penyediaan buku sekolah: buku elektronik! Menghabiskan anggaran hingga ratusan miliar rupiah, bahan baku buku-buku pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya dari penulis ditaruh di jaringan internet. Belakangan juga tersedia dalam bentuk cakram digital.

Masyarakat, sekolah, juga penerbit, bisa mengunduh secara gratis, lalu mencetaknya sendiri. Buku sekolah elektronik versi cetak tidak boleh dijual di atas harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan.

Hasilnya? Tahun lalu, program yang menghabiskan dana sangat besar ini tidak jalan. Jangankan para orangtua murid, pihak sekolah di Ibu Kota sekalipun banyak yang tidak tahu ihwal keberadaan dan kebijakan buku elektronik.

Tahun ini? Sama saja! Sekolah masih memungut biaya buku dalam jumlah yang tidak sedikit dari peserta didik. Meski kalangan penerbit buku sekolah mengaku kelimpungan, dalam praktik di lapangan ternyata pasokan buku mereka masih terus mengalir ke sekolah.

Sengkarut persoalan di balik pengadaan buku sekolah tampaknya masih akan terus berlanjut. Tanpa ada kebijakan buku sekolah gratis, mimpi dan harapan orang-orang seperti Jamal dan Ijah bukan saja akan terus terkubur, untuk sekadar bermimpi pun mereka sudah tak lagi punya keberanian....(INE/ELN/KEN)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/0508506/buku.sekolah.gratis.yang.kutunggu...


Buku Gratis, Bukan Buku Murah
Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Harapan orangtua untuk sedikit bernapas lega dari keharusan mengeluarkan biaya pembelian buku pelajaran, setidaknya hingga sepertiga dari biaya buku pada tahun-tahun sebelumnya, lagi-lagi kandas. Pihak sekolah belum juga merekomendasikan pemakaian buku-buku pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya oleh pemerintah, padahal gaungnya sudah dipakai juga dalam kampanye calon presiden dan calon wakil presiden beberapa waktu lalu.

 Jika mendapatkan buku murah saja masih sulit, rasanya untuk membayangkan suatu saat orangtua dan siswa tidak perlu mengeluarkan uang buku juga akan sia-sia. Nyatanya, untuk pendidikan dasar sembilan tahun (jenjang SD-SMP sederajat) saja, yang seharusnya gratis, tanggung jawab penyediaan buku masih dibebankan kepada peserta didik.

 "Idealnya, tiap murid dapat buku untuk tiap pelajaran. Bukan cuma buku teks, tetapi juga buku bacaan dan rujukan. Tetapi jika pemerintah bilang belum mampu menyediakan buku gratis untuk semua siswa, untuk pendidikan dasar mestinya paling tidak buku-buku teks wajib gratis," kata Soedijarto, praktisi dan pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta.

Soedijarto yang juga Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) mengatakan, dalam anggaran pendidikan harus jelas ada anggaran buku. Namun, kuat sekali kesan bahwa kenaikan anggaran pendidikan sekarang ini lebih sebagai akal-akalan untuk menyiasati UUD 1945.

"Kenaikan anggaran itu tidak berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Seharusnya anggaran pendidikan, ya, untuk pendidikan, bukan termasuk gaji guru yang juga menyedot lebih dari setengahnya," kata Soedijarto.

Bagi Ade Irawan, Koordinator Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), isu seputar buku pelajaran yang tiap tahun masih saja jadi beban masyarakat kian menunjukkan bahwa pendidikan di negara ini dipandang sebagai komoditas bisnis. Kondisi itu terjadi bukan semata-mata salah guru dan sekolah, tetapi karena pengelola negara ini yang tidak memandang penting pendidikan dan mengomersialkan pendidikan.

"Ketika pendidikan di negara ini masih dianggap sebagai komoditas, berbagai hal yang terkait di dalamnya, termasuk buku, juga dipandang sebagai bisnis. Siswa yang tidak berdaya, yang tentu saja tetap akan mengikuti buku teks yang dipakai di sekolah, mau tidak mau tiap tahun terpaksa membayar biaya buku yang mahal itu," ujar Ade.

Adanya bantuan operasional sekolah (BOS) juga tidak sepenuhnya membebaskan siswa dari berbagai pungutan. Program BOS buku yang dikucurkan pemerintah sejak 2006 itu juga dinilai tidak sukses karena selalu telat.

Besaran dana BOS buku yang awalnya dipatok Rp 20.000 per siswa per semester masih terlalu kecil. Hanya cukup digunakan membeli satu buku. Dana BOS buku yang kecil tersebut kini bahkan diturunkan menjadi Rp 12.000 dengan alasan sudah ada buku murah dari program buku sekolah elektronik versi cetak.

Sekolah pun mesti "mutar otak" untuk bisa menyediakan buku teks yang cukup di perpustakaan. Tetapi nyatanya tidak mudah karena dana pembelian buku yang tidak memadai. Adapun buku murah versi cetak dari program buku sekolah elektronik tak juga muncul di ruang kelas.

Sediakan buku gratis

Ade yang juga anggota Kelompok Independen untuk Advokasi Buku (Kitab) menegaskan, ketersediaan buku teks di sekolah sebenarnya bukan tanggung jawab murid. Pemerintah yang justru harus bertanggung jawab menyediakan buku gratis untuk setiap siswa.

"Anehnya, sekarang pemerintah mengeluarkan kebijakan buku murah. Lewat program buku elektronik yang masih susah diakses sebagian besar sekolah, kebijakan pemerintah itu jelas cuma coba-coba. Padahal, puluhan miliar uang rakyat sudah dipakai, tetapi sampai sekarang belum terasa dampaknya pada rakyat. Kebijakan buku sekolah itu harus buku gratis, bukan buku murah," ungkap Ade.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, setiap siswa pernah merasakan kebijakan yang menguntungkan dengan disediakannya buku gratis dari sekolah. Anehnya, di tengah kenaikan anggaran pendidikan yang diklaim sudah mencapai 20 persen dari APBN—sesuai dengan amanat UUD 1945—wacana buku gratis semakin sayup terdengar.

Pemerintah malah berkutat di program buku murah. Itu pun tidak juga kunjung langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Padahal, kebijakan yang mengusung label reformasi di bidang perbukuan ini sudah berlangsung sejak 2007.

"Sosialisasi sudah dilakukan. Untuk perubahan ke hal baru butuh waktu. Jangan hanya berpikir saat ini dengan mengatakan secara buru-buru bahwa buku kebijakan sekolah elektronik gagal, tetapi harus dilihat beberapa tahun ke depan," ujar Kepala Pusat Perbukuan Depdiknas Sugijanto.

Kebijakan pemerintah saat ini lewat pembelian hak cipta buku-buku teks pelajaran, kata Sugijanto, bertujuan untuk menjamin tersedianya buku murah di masyarakat. Adapun penyediaan buku secara gratis dilakukan dengan menggunakan dana bantuan BOS buku, subsidi pemerintah daerah, atau oleh pihak-pihak lain.

Saat ini ada 3.000-an jilid buku teks pelajaran dari sejumlah penerbit yang beredar di pasaran. Buku-buku tersebut sudah lolos penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan dan layak pakai selama lima tahun.

"Sementara buku sekolah elektronik baru 598 jilid untuk SD-SMA/SMK. Jumlah itu masih kecil dibandingkan buku yang ada di pasaran," ujarnya.

Kebijakan buku murah lewat pembelian hak cipta, kata Sugijanto, sebagai jalan tengah yang dilakukan pemerintah. Sebab, tambahnya, ketika dulu pengadaan buku dimonopoli pemerintah lewat Balai Pustaka, buku-buku yang dibagikan ke sekolah mubazir karena dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan.

Kebijakan buku murah lewat program buku elektronik itu dinilai solusi yang baik dari kacamata pemerintah. Hanya tinggal menunggu waktu untuk bisa dimanfaatkan lebih luas lagi oleh masyarakat.

Sekolah yang sudah memiliki jaringan internet dapat mengunduhnya dari jaringan pendidikan nasional (jardiknas). Yang belum tersentuh internet bisa mendapatkan versi cetak dengan harga eceran tertinggi antara Rp 4.000 dan Rp 29.000, bergantung pada jenis dan ketebalan buku. Secara rata-rata, harga buku di kisaran Rp 8.000-Rp 12.000.

Namun, bagi Soedijarto, mestinya yang dilakukan pemerintah memperbaiki hal-hal yang keliru dari pengadaan buku gratis dan bukan menghentikan buku gratis ke sekolah-sekolah. "Dananya disiapkan pemerintah, lalu serahkan ke sekolah untuk memilih buku yang mau dipakai," ujarnya.

Evaluasi serius

Kebijakan buku teks yang berganti-ganti dirasa masih bagus di atas kertas, tetapi nihil dalam implementasi. Buku masih dibisniskan, sekarang dengan dalih buku murah.

Bagi pemerintah, sah saja jika masyarakat mampu dibebani pungutan pembelian buku. Dalihnya, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, masyarakat boleh berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan.

"Yang penting, sekolah harus menyediakan buku untuk siswa tidak mampu," kata Sugijanto.

 Akan tetapi, bagi pihak-pihak yang kritis terhadap pelaksanaan pendidikan, tersedianya buku gratis di sekolah adalah suatu kewajiban. Cara itu untuk menghentikan pungutan buku teks yang berganti tiap tahun.

Belum berhasilnya program buku elektronik meringankan beban masyarakat soal buku pelajaran, kata Ade Irawan, mesti dievaluasi secara serius. "Jangan cuma menuding sekolah, dinas pendidikan daerah, dan penerbit sebagai sumber masalah. Depdiknas juga harus berani mengakui jika kebijakan untuk buku pelajaran masih belum pas. Penyediaan buku pelajaran harusnya mendapat subsidi penuh supaya tidak ada peluang pembisnisan buku pelajaran oleh siapa pun," kata Ade.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bahkan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Agung terhadap Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang Buku. Pertimbangannya, peraturan tersebut melegalkan pemerintah melepaskan tanggung jawab dalam penyediaan buku gratis.

Fitriani Sunarto selaku Koordinator Kitab mengakui bahwa pemerintah memang melakukan hal yang baik dengan membeli hak cipta buku, lalu mengunggahnya ke internet sehingga bisa diakses siapa saja untuk dipakai sebagai sumber belajar. Akan tetapi, dalam perspektif kebijakan pendidikan dasar, pendidikan itu gratis, termasuk dalam penyediaan buku teks pelajaran.

"Di sinilah ironinya. Kebijakan buku sekolah elektronik adalah bukti bahwa pemerintah melepaskan tanggung jawabnya secara perlahan-lahan dalam pelaksanaan pendidikan dasar gratis berkualitas," ujarnya.

Menurut Ade, yang justru perlu dilakukan pemerintah adalah menambah jumlah BOS buku sehingga buku teks wajib bisa tersedia secara gratis di sekolah. Cara ini juga menghargai otonomi sekolah karena sekolah tidak dipaksa untuk memakai buku-buku tertentu."Pemerintah terlalu menyederhanakan persoalan dalam hal pengadaan buku teks pelajaran. Sifatnya hanya jangka pendek. Kondisi ini tidak kondusif untuk pendidikan," ujarnya. (ine)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/05072897/buku.gratis.bukan.buku.murah


BUKU ELEKTRONIK
Jurus Tak Kena Sasaran

Kepala SD Negeri Palmerah 07, Jakarta Barat, Tjiah Kursiah, belum pernah mendengar tentang buku sekolah elektronik alias buku pelajaran digital. Apalagi mengunduhnya. Di sekolah mereka memang sudah ada akses internet dengan berlangganan ke salah satu perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Mereka berlangganan atas inisiatif sendiri.

Hanya ada satu unit komputer yang terhubung ke jaringan internet di sekolah tersebut. Itu pun cuma digunakan untuk keperluan administrasi, seperti penerimaan siswa baru (PSB) sistem online baru-baru ini. Adapun Tjiah dan para guru di sana mengaku tak pernah sekali pun melihat wujud buku sekolah elektronik, termasuk versi cetaknya yang disebut-sebut sebagai buku pelajaran murah.

Sejauh ini, pengadaan buku pelajaran di sekolah itu masih seperti dulu. Ada pihak penerbit yang datang menawarkan buku pelajaran dan pihak sekolah memilih buku yang cocok. "Bukunya sudah lolos penilaian, dan kata orang yang berjualan, mereka sudah ada izin. Jadi boleh dibeli atau legal," ujarnya.

Buku-buku tersebut dibeli dengan menggunakan sepenuhnya dana pemerintah. Selain menerima dana tahunan dari pos bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat, juga BOS buku senilai Rp 6,6 juta untuk 298 siswa, mereka juga mendapat dana bantuan operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 60.000 per siswa per bulan.

Pembelian dilakukan bertahap hingga tersedia buku untuk semua mata pelajaran bagi semua murid. "Buku-buku itu kami pinjamkan ke murid. Mereka bisa membawanya pulang. Syaratnya dirawat dengan baik. Bahkan, buku lembar kerja siswa (LKS) pun kami berikan gratis," ujarnya.

Sekolah-sekolah (negeri) di DKI Jakarta memang relatif beruntung. Lain halnya mereka yang ada di daerah. Juga para siswa di pinggiran Ibu Kota. Sebagian besar para orangtua murid, terutama di perkotaan, harus merogoh kocek sendiri untuk kebutuhan buku sekolah anak-anak mereka.

Versi cetak

Kalau hanya mengandalkan BOS buku, jelas tidak memadai. Sementara untuk bisa menikmati "buku murah", buah dari kebijakan buku sekolah elektronik, pun ternyata hingga tahun kedua ini masih sebatas harapan. Ternyata, mengimplementasikan sebuah kebijakan—betapapun mungkin maksudnya baik—masih jadi persoalan besar di negeri ini.

Ketua Pusat Buku Indonesia (PBI) Firdaoes Umar mengatakan, telah ada kegiatan sosialisasi mengenai buku pelajaran murah (buku yang telah dibeli hak ciptanya dan dicetak untuk dijual sesuai harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah). Namun, tetap diperlukan sosialisasi gencar secara nasional agar penggunaan buku itu semakin luas.

Sejauh ini telah masuk permintaan terhadap buku pelajaran murah tersebut dari beberapa daerah. Termasuk di luar Pulau Jawa yang minim toko buku. Untuk daerah luar Jawa, yang biaya pengiriman tinggi, sekolah biasanya memesan secara berkelompok, sekitar 15-30 sekolah.

"Pemesanan paling banyak untuk jenjang sekolah dasar," ujarnya.

Sejauh ini telah ada sekitar 230 judul buku versi cetak teks pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya masuk ke Pusat Buku Indonesia, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA dan SMK. Percetakan yang memasok ke pusat buku tersebut sekitar 10 percetakan. Beberapa toko buku juga sudah mulai tertarik memasarkan buku-buku tersebut.

Kepala Pusat Perbukuan Indonesia Depdiknas Sugijanto juga mengaku pihaknya sudah menyosialisasikan keberadaan buku elektronik ini. Surat edaran kepada semua gubernur dan pemerintah kabupaten/kota agar dana bantuan yang disalurkan pemerintah untuk pembelian buku dipergunakan untuk membeli buku murah tersebut juga sudah dikirim.

"Kami juga sudah menyebarkan cakram berisi materi buku pelajaran tersebut. Kami berharap nantinya berkembang percetakan di daerah. Kalau sekolah mencetak langsung dari komputer, tentu harganya sangat mahal," ujarnya.

Dia memperkirakan ada sejumlah penyebab mengapa buku pelajaran murah tersebut belum populer di masyarakat. Salah satunya terkait masih sedikit jumlah judul buku murah dibandingkan buku terbitan para penerbit yang sudah ada di pasar. Saat ini terdapat sekitar 3.000 judul buku pelajaran yang diterbitkan oleh sekitar 250 penerbit. Adapun buku elektronik versi cetak masih sepersepuluhnya dan distribusinya pun baru dimulai dua tahun belakangan.

Berbagai upaya tampaknya memang sudah dilakukan. Terlepas apakah upaya itu sudah maksimal atau belum, yang pasti hingga kini beban para orangtua untuk mendapatkan pendidikan murah—apalagi benar-benar gratis—sekaligus bermutu masih jauh dari harapan. Entah sampai kapan.... (INE/ELN/KEN)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/05093717/jurus.tak.kena.sasaran


Penerbit Pun Pusing "Tujuh Keliling"
Oleh INDIRA PERMANASARI

Dibandingkan dengan buku bacaan umum, harga buku pelajaran boleh jadi memang lebih murah. Namun, perputaran uang di seputar bisnis buku pelajaran alias buku sekolah sungguh fantastis. Hitungan angkanya tidak lagi dalam jutaan atau miliaran, tetapi triliunan rupiah.

Setiap awal tahun ajaran baru, sekitar 57 juta siswa SD-SMA sederajat di negeri ini "dipaksa" memiliki buku pelajaran baru. Sebagian besar kebutuhan akan buku pelajaran tersebut harus dikeluarkan dari kocek para orangtua murid, sebagian kecil lagi ditalangi pemerintah melalui apa yang disebut program bantuan operasional sekolah khusus untuk pengadaan buku pelajaran alias BOS buku.

Jika harga buku per eksemplar rata-rata hanya Rp 15.000, berarti nilainya sudah hampir Rp 1 triliun. Padahal, jumlah dan jenis buku pelajaran yang harus dilengkapi oleh setiap siswa berkisar 10 hingga 14 buah. Selain itu, untuk jenis buku pelajaran tertentu—terutama di jenjang pendidikan menengah—harga per eksemplar bisa di atas Rp 25.000.

Bagi kalangan penerbit, ceruk pasar selama tiga bulan setiap awal tahun ajaran baru itu sungguh amat menggiurkan. Tak mengherankan kalau kemudian munculnya kebijakan perbukuan yang diterapkan Departemen Pendidikan Nasional, yang dilandasi semangat untuk menghadirkan "buku murah" ke sekolah, membuat jantung para penerbit buku pelajaran kebat-kebit.

Semua bermula dari kebijakan pemerintah membeli hak cipta buku pelajaran secara bertahap sejak 2007. Materi buku yang sudah dibeli hak ciptanya tersebut kemudian diunggah ke jaringan internet dan masyarakat bebas mengunduhnya. Gratis! Pemerintah juga menyediakan dalam cakram digital siap cetak.

Penerbit boleh mencetak dan mengedarkannya. Hanya saja, harga dipatok tidak boleh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditentukan. Ditambah kebijakan terdahulu, di mana penerbit dilarang menjual buku langsung ke sekolah, serangkaian kebijakan pemerintah ini merupakan pukulan telak bagi penerbit.

Penerbit vs toko buku

Selama ini, aksi penerbit menjual buku ke sekolah memang menuai berbagai protes. Para penerbit bersaing merebut hati para kepala sekolah dan guru dengan berbagai tawaran diskon menarik atau paket-paket lain. Di tengah minimnya kesejahteraan guru, transaksi tersebut memberikan penghasilan tambahan.

Situasi ini memunculkan tuduhan bahwa sekolah menjadi tempat komersial. Martabat para pendidik pun dipertanyakan lantaran dicap menjadi penjual buku dan membebani masyarakat.

Ada pula yang berpandangan, masuknya penerbit langsung ke sekolah mematikan toko buku. Padahal, dalam jangka panjang keberadaan toko buku sebetulnya mendukung usaha penerbitan itu sendiri.

"Sejak penerbit masuk langsung ke sekolah, dalam 15 tahun terakhir banyak toko buku yang tutup, terutama di ibu kota kabupaten/kota. Kalau 15 tahun lalu tercatat 4.762 toko buku yang menjadi anggota Gabungan Toko Buku Indonesia, kini hanya tersisa sekitar 2.000 toko buku. Itu pun hanya 20 persen yang berada di ibu kota kabupaten/kota," kata Firdaus Oemar, Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia.

Di kota kecil, kata Firdaus, toko buku bisa terus bertahan hidup antara lain karena mengandalkan panen penjualan buku pelajaran. Dari hasil keuntungan itulah mereka kemudian berjualan buku bacaan lain yang sifatnya sebagai pelengkap. Ketika sumber penghasilan utama itu terputus, satu per satu toko buku yang ada di kota-kota kecil pun gulung tikar.

Akibat banyak toko buku tutup, akses masyarakat di sana untuk mendapatkan informasi melalui buku—juga sarana meningkatkan minat baca—ikut terganggu. Adapun keberadaan perpustakaan umum belum berfungsi secara baik.

"Sungguh ironis! Penerbitan terus bertumbuh dengan jumlah judul buku yang diterbitkan sekitar 15.000 judul buku per tahun, tetapi terjadi ketimpangan distribusi dan akses," ujarnya.

Penerbit punya alasan tersendiri. Mereka berpendapat, asal-muasal penjualan buku pelajaran langsung di sekolah justru berawal dari minimnya keberadaan toko buku. Paling tidak itulah penjelasan Wanti Syaifullah dari Penerbit Grafindo Media Pratama terkait dengan masuknya penerbit ke sekolah.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) ini juga mengakui, dari sisi perhitungan bisnis penjualan langsung ke sekolah lebih menguntungkan. Toko buku umumnya menawarkan konsinyasi sehingga buku yang tidak laku dikembalikan.

"Selain itu, sulit bagi penerbit untuk mendapatkan jaminan sejauh mana upaya toko buku menjual buku-buku itu. Apalagi ada keterbatasan ruang di toko buku, padahal penjualan buku pelajaran bersifat musiman," ujar Wanti.

Perlombaan pemberian korting ke sekolah kemudian muncul sebagai ekses dari persaingan bisnis. "Organisasi juga sulit mengatur dan memantaunya sehingga ini memang menjadi tantangan tersendiri. Organisasi, seperti Ikapi, hanya bisa mengimbau," tambahnya.

Namun, bagi Wanti, hal itu masih dapat diatur jika kesepakatan misalnya, diskon tidak diberikan kepada perorangan guru atau kepala sekolah, tetapi ke lembaga sekolah untuk pembangunan sekolah tersebut. "Memang harus ada pengontrolan yang tepat dan kesejahteraan guru diperbaiki," ujarnya.

Menghabiskan stok

Dengan munculnya kebijakan baru di bidang perbukuan, ditandai dengan keberadaan buku sekolah elektronik berikut versi cetaknya, juga larangan penjualan langsung ke sekolah, penerbit pun kini mulai berpikir ulang menerbitkan kembali buku pelajaran. Grafindo Media Pratama bahkan tahun ini memutuskan tidak mencetak ulang buku pelajaran.

"Kami hanya menghabiskan stok yang ada. Sebagian besar penerbit demikian. Harga buku juga ditekan agar dapat bersaing dengan buku ('elektronik' versi digital) yang dijual dengan harga eceran tertinggi. Banyak penerbit sudah berpikir untuk hengkang dari bisnis buku pelajaran jika kebijakan pemerintah tidak mendukung," ujarnya.

Ketua Umum Ikapi Setia Dharma Madjid mengungkapkan, bagi penerbit, kebijakan pemerintah tersebut tidak adil dan mematikan usaha mereka. Dalam jumpa pers Ikapi pada November 2008 terungkap bahwa stok buku pelajaran pada 25 penerbit sekitar 500 juta buku.

Buku-buku dari penerbit tersebut telah melewati penilaian pemerintah serta Badan Standar Nasional Pendidikan dan sudah dinyatakan lolos. Buku-buku yang sudah telanjur dicetak itu kini tidak dapat dipasarkan langsung ke sekolah, sementara di pasar harus bersaing dengan buku dengan harga eceran tertinggi.

Bagi penerbit, harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah dianggap terlalu rendah lantaran hanya memperhitungkan biaya cetak, yakni Rp 60 per halaman. Padahal, terdapat biaya distribusi, mengingat minimnya toko buku dan percetakan di daerah.

Menurut mereka, karakter bisnis buku pelajaran berbeda dibandingkan dengan buku umum, lantaran buku pelajaran harus sudah berada di tangan anak begitu tahun ajaran baru atau semester awal dimulai. Pengiriman buku pun harus cepat.

Belum lagi ada biaya-biaya di luar kontrol penerbit, seperti harga kertas yang fluktuatif. Padahal, komponen kertas mengambil hingga 40 persen dari biaya produksi. "Oleh karena itu, Ikapi mengusulkan Rp 120 per halaman agar industri tetap hidup. Pemerintah tidak menanggapi ide tersebut," tambah Wanti.

Setia Dharma menambahkan, bagaimanapun, industri penerbitan buku pelajaran ikut menopang industri buku-buku lainnya. Jumlah anggota Ikapi sekitar 900 penerbit dan 200 di antaranya menerbitkan buku pelajaran selain buku umum.

"Jika pemerintah serius ingin menangani buku pelajaran dan tidak memberatkan masyarakat, seharusnya seluruh biaya buku pelajaran ditanggung pemerintah. Pemilihan buku diserahkan ke sekolah dengan syarat buku telah lolos penilaian," ujarnya.

Penerbit, kata Setia Dharma, tidak keberatan menjual lewat toko buku dan mengikuti harga eceran tertinggi. Tentu saja sepanjang harga eceran tersebut disepakati bersama dan tidak mematikan industri.

"Kami pernah menghitung biaya yang perlu dikeluarkan pemerintah untuk seluruh pelajar, mulai dari jenjang SD hingga SMA dan SMK, dengan rasio satu anak satu buku, sekitar Rp 15 triliun," ujarnya.

Ikapi juga berharap, dalam pembuatan kebijakan hendaknya pemerintah mengajak pemangku kepentingan, seperti penerbit, duduk bersama dan tidak hanya bertindak sepihak. Apalagi persoalan perbukuan di Indonesia sangat kompleks.

"Kami juga sepakat buku pelajaran harus murah, tetapi industrinya jangan dimatikan. Pasti ada pemecahan yang adil," ujar Setia Dharma Madjid.(ELN/KEN)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/05052953/penerbit.pun.pusing.tujuh.keliling

Tidak ada komentar: