24 Juni 2009

Yang Tertinggal di Tangga Pendidikan

Sejumlah anak jalanan dengan membawa gitar kecilnya naik di pintu bus yang melaju di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (27/7). Mengamen dari bus ke bus biasa dilakukan oleh anak-anak jalanan. Risiko jatuh dari pintu bus tak dihiraukan oleh mereka, yang penting mengamen dan dapat uang.
/

Oleh Mulyo Sunyoto

Rabu, 24 Juni 2009 | Lambok menggergaji pipa pralon berdiameter selebar pahanya, sepanjang tulang keringnya, menggunting karet ban dan mengikatkannya di salah satu ujung pralon.

"Kamu bikin satu lagi seperti ini. 'Ntar siang kita bisa ngamen pakai ketipung ini," kata bocah 12 tahun itu pada Narji, kawan sebayanya.

Lambok dan Narji adalah dua bocah yang baru lulus sekolah dasar (SD) dan kedua orang tua mereka memberi sinyal untuk tak meneruskan pendidikan. Dua bocah yang tertakdir keluar dari rahim perempuan yang sama-sama miskin.

Setengah tahun belakangan, begitu pulang sekolah, dua bocah itu biasa mengamen di angkutan kota Jurusan Pekayon-Kampung Rambutan.

Sejak menghabiskan setengah hari waktu mereka di jalanan, melompat dari satu angkot ke angkot yang lain, dua bocah itu tampak semakin kusut, kotor dengan raut muka yang belepotan keringat dan debu.

"Kau ngamen saja dan kau pakai makan itu uang," kata Tiurma, orang tua Lambok, yang tinggal di rumah petak kontrakan di RT 02/RW 17 Jatimekar Bekasi, bersama suami dan ketiga anaknya yang lain, yang  masih duduk di bangku SD.

"Kau tak usah 'nerusin' sekolah, duit bapak kau tak cukup buat biaya," katanya suatu hari. Lambok tak menjawab. Bocah itu sebetulnya segan ke sekolah sejak kelas lima saat orang tuanya sudah tak memperhatikan lagi kebutuhan sekolahnya.

Meskipun pemerintah daerah Bekasi Jabar membebaskan siswa SD dari iuran pendidikan  bulanan, bukan berarti para wali murid dari anak-anak SD itu bisa bebas dari beban  biaya pendidikan.

Orang tua Lambok masih harus mengeluarkan uang untuk praktik tata boga, uang renang, dan beli sepatu yang rusak. "Bayar kontrakan tiap bulan bersama listrik sebesar Rp350 ribu sudah sangat berat. Bahkan sering menunggak," kata Tiurma, yang bersuamikan seorang supir taksi.

Tak beda dengan kondisi ekonomi keluarga Lambok, orang tua Narji yang berasal dari Purwodadi Jateng itu adalah petugas satpam pasar Pondok Gede, yang setiap bulan hanya membawa pulang Rp800 ribu.

"Ndak usah sekolah, untuk ongkos angkot pulang pergi ke sekolah sekarang mahal," tutur Warini, orangtua Narji yang juga mengontrak di dekat keluarga orang tua Lambok.

Bagi kedua keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan itu, menyekolahkan anak di SMP, yang harus ditempuh dengan angkutan kota, sungguh bukan beban yang ringan.

"Paling tidak, sehari bisa habis Rp4.000. Belum lagi untuk uang jajan. Tak mampu aku menyekolahan Narji ke SMP," katanya.

Baik Tiurma maupun Warini juga tak yakin bahwa anak mereka sanggup masuk bersaing di SMP Negeri yang biaya bulanannya digratiskan. Kalau harus masuk SMP swasta, makin amburadullah manajemen keuangan mereka.

Itu sebabnya, setiap nonton teve dan iklan layanan pendidikan sedang lewat di depan mereka, Warini berkomentar sinis.

"Bulanannya memang gratis. Lainnya? Ongkos angkotnya?" ucap Warini saat menyaksikan adegan sebuah keluarga miskin yang menyambut gembira pengumuman sekolah gratis lewat radio transistor. Gambar bocah yang bergembira sedang mendekap radio itu diikuti Mendiknas Bambang Sudibyo duduk di "singgahsananya" dan menegaskan sekolah gratis pun bisa!

Agaknya, tak semua keluarga miskin sanggup menjawab ajakan iklan
sekolah gratis itu. Sebab bagi orangtua Lambok dan Narji, biaya hidup saat ini terlampau berat sehingga tawaran sekolah gratis tak dengan sendirinya bisa diterima begitu saja.

"Kau ngamen saja. Kau pakai makan itu uang," Lambok mendengar suara orang tuanya yang parau. Namun, nyatanya, Tiurma masih sering bertanya pada sang anak: "Lambok, kau dapat uang banyakkah? Kasih itu adik kau," pinta sang ibu.

Lambok, seperti biasa, tak mengabaikan  kata-kata Tiurma dan ia merebahkan badannya di kamar yang berantakan dengan tumpukan cucian kotor. Bocah itu cepat terlelap.

http://oase.kompas.com/read/xml/2009/06/24/03013053/Yang.Tertinggal.di.Tangga.Pendidikan

Tidak ada komentar: