25 Juni 2009

Profil Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2009

Liek Wilarjo Ahli Fisika yang Juga Menulis Sosial
Prof Liek Wilardjo
/

Kamis, 25 Juni 2009 | 05:40 WIB

oleh Subur Tjahjono

KOMPAS.com-  Menilai sosok Liek Wilardjo (70) harus utuh. Hanya menilai dari "pandangan  pertama" bisa salah sangka, karena akan terkesan kaku, nyaris tanpa ekspresi, dan irit bicara. Namun, dengan menyimak tulisan-tulisannya di media massa dan penuturan orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengan guru besar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini barulah tergambar secara lengkap sosok cendekiawan yang utuh dan interdisipliner itu.

Spesialisasi yang ditekuni secara serius oleh ilmuwan kelahiran Purworejo, 24 September 1939 itu adalah fisika dan matematika. Selain itu ia  meminati bidang filsafat ilmu, etika, pendidikan sains, bahasa keilmuan, dan telaah lintas agama.

"Kalau dibilang total ya total. Total dalam arti saya tidak nyambi jadi calo. Dagang ya tidak. Main valuta asing atau MLM (multi level marketing) tidak. Berpolitik juga enggak. Total dalam arti itu," kata Pak Liek—sapaan akrab Liek Wilardjo--ketika diwawancarai Kompas di Rumah Makan Tempo Doeloe, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Senin (15/6) lalu.

Akan tetapi, menurut dia,  total pun dalam arti terbatas, baik dalam kualitas maupun kuantitas, terbatas juga dalam cakupan. "Saya berkecimpung dalam dua kategori, yakni spesialisasi (fisika dan matematika) dan beberapa bidang lain di luar spesialisasi, yaitu filsafat ilmu, bahasa keilmuan, etika, sedikit telaah lintas agama, dan pendidikan sains. Di luar itu tidak terlibat," ujar alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada tahun 1964 itu.

Spesialisasi di bidang fisika dan matematika itu memang didukung oleh latar belakang pendidikan S2 tahun 1965 dan S3 tahun 1970  di Michigan State University, Amerika Serikat. Penghargaan doktor honoris causa tahun 1990 di bidang sains juga dapat menjadi ukuran bagaimana perguruan tinggi terkemuka seperti Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, mengakui kecendekiawanannya. Ia dihargai karena menstandardidasi istilah-istilah fisika dan pandangan-pandangannya tentang ilmu yang normatif.

 Mantan Rektor UKSW Dr Sutarno (76) memberi gambaran yang lebih utuh tentang Pak Liek yang pernah menjadi Pembantu Rektor I UKSW ketika Sutarno menjadi rektor 1973-1978. "Ia  apa adanya, terus terang, terkesan sombong, kurang diplomatis, sehingga sering menimbulkan salah paham atau antipati kalau melontarkan ide," tutur Sutarno.

Padahal Pak Liek banyak idenya, seperti sistem kredit semester yang diperkenalkan Pak Liek di UKSW tahun 1973. Sistem kredit itu juga pertama diterapkan di Indonesia waktu itu. "Menurut saya Pak Liek itu ilmuwan yang mumpuni, all round (serba bisa)," kata Sutarno.

Peneliti senior Lembaga Penelitian Percik di Salatiga, Dr Nico L Kana, menilai Pak Liek bukan tipe cendekiawan yang membutuhkan pentas dengan penonton yang bertepuk tangan. Pak Liek bukan sosok yang menonjol-nonjolkan diri. Meskipun demikian , Nico melihat sosok Pak Liek adalah cendekiawan yang selalu melihat segala hal secara utuh, sekalipun awalnya keahliannya adalah fisika dan matematika.

Salah seorang mahasiswanya di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro UKSW tahun 1975-1981, Dr Yuliman Purwanto, membuat catatan untuk peringatan 70 tahun di kampusnya tahun ini. Yuliman menilai, Pak Liek telah menjadi begawan humanisme lewat karya, perenungan, dan tulisan-tulisannya.

"Ia bukan sekadar seorang guru besar, tetapi ia memang guru bagi bangsa ini," ujar Yuliman, yang sekarang menjadi dosen di Universitas Dian Nuswantoro Semarang dan Direktur TVKU Semarang itu.

Hal itu pula yang mendorong Direktur Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang Prof Dr Ahmad Gunaryo mengundang Pak Liek mengajar Filsafat Ilmu di Program S3 Studi Islam IAIN Walisongo sejak tahun 2005. "Di mata saya Pak Liek itu dedicated teacher (guru yang berdedikasi)," ujar Gunaryo. Sebagai seorang guru, Pak Liek betul-betul mengabdi pada spesialisasi dan profesinya.

Pak Liek sendiri ketika ditanya soal pencapaiannya merasa tidak ada yang bisa dibanggakan dari bidang-bidang yang ditekuninya itu. "Biasa-biasa saja. Tidak ada istimewanya. Karena itu saya tidak berniat menulis otobiografi karena tidak ada capaian yang perlu dibanggakan dalam hidup saya," kata Pak Liek.

Untuk mengetahui pandangan-pandangan Pak Liek tentang masalah kebangsaan, berikut petikan lengkap wawancaranya:

Apa masalah mendasar bangsa ini?
Bangsa ini potensinya besar, tetapi aktualisasinya sangat kurang. Yang saya katakan kurang, nasionalismenya masih kurang. Ini bisa dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dengan Jepang kita kalah. Dengan Thailand kalah nasionalismenya.

Lalu kesadaran tentang tanggung jawab pada masyarakat (civic duty) itu tipis sekali. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara maju yang dicap kapitalis, itu pun kita masih kalah dalam hal kesadaran berbuat sesuatu bagi masyarakat. Misalnya orang-orang yang sudah mapan, purnawirawan, pensiunan, yang hidupnya berkecukupan, kalau di luar negeri, mereka tidak tinggal diam, mereka bekerja sebagai sukarelawan, tanpa bayaran, di rumah sakit, di gereja, di masjid. Di mana sajalah, yang mereka bisa bantu, bantu dengan uangnya dan dengan tenaganya.Di sini tidak pernah ada itu.

Jadi semangat yang saya katakan civic duty itu telah hancur.

Masalah lainnya?
Selain nasionalisme dan civic duty, soal moral, semua orang tahulah, amburadul betul, begitu. Lalu juga iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) kita sangat tertinggal. Sejak dulu tertinggal, sekarang masih tertinggal, dan besok masih akan tertinggal.

Berarti untuk kemajuan bangsa kita, empat hal itu, nasionalisme, civic duty, moral, dan iptek, yang harus ditingkatkan?
Kalau menurut saya iya. Untuk mengaktulisasikan potensi besar yang memang ada, empat hal ini perlu digarap sungguh-sungguh. Keempat hal ini yang harus dilaksanakan pemimpin? Ya kita semua, tetapi dengan inspirasi dari pemimpin yang baik.

Mungkin ada saran kepada pemimpin kita?
Mungkin  meniru Aa Gym (KH Abdullah Achmad Gymnastiar), yaitu 3 M, mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri, mulai sekarang juga. Jadi kalau empat hal itu digarap, mulai sekarang juga, dan, tidak usah proyek mercusuar yang gede-gede. Mulai dari hal-hal yang kecil saja.

Tetapi siapa pemimpin yang mau?

Kalau ngomong sih banyak. Capres-cawapres semuanya ngomong begitu, tetapi kenyataannya apakah semuanya bisa ditagih, begitu.

Masalah yang mendesak dalam jangka pendek apa?
 Yang mendesak dalam jangka pendek, menurut saya, hal-hal yang perlu untuk memenuhi hajat hidup orang banyak.Itu ada di UUD kita.

Apa itu?

Misalnya swasembada pangan dan pakan. Pangan itu bukan beras saja, juga yang lain-lain. Termasuk juga air. Lalu energi yang memberat ke energi yang terbarukan, bukan yang lain. Kita mulai secara bertahap beralih ke energi yang terbarukan. Lalu dalam perancangannya, harus ada pergeseran dari sisik pasok (supply side) ke sisi penggunaan akhir (end use side). Sisi end use side ini tekanannya pada peningkatan efisiensi dan penghematan serta konservasi.

Menurut saya, juga yang perlu digarap, apa yang dinamakan MRT (mass rapid transit) karena penduduk kita sangat berjubel.

Masalah jangka panjang kita apa?
Ya nasionalisme, tetapi didorong dengan kebanggaan nasional, seperti contoh bangsa-bangsa yang lain. Misalnya, Jepang dulu dengan Restorasi Meiji tahun 1820-an (Mutsuhito, Meiji Tenno Heika). Itu kan ada niat, lalu diartikulasikan dengan baik oleh Sang Pemimpin, lalu semuanya mendukung, lalu dikerjakan mati-matian. Dalam 100 tahun (Jepang) sudah berhasil take off (lepas landas) betul-betul. Tahun 1930-an Jepang sudah berani melawan Amerika Serikat dan Sekutu.

Yang saya maksudkan dengan contoh yang bisa mendorong kebanggaan itu misalnya John F Kennedy berani mencanangkan bahwa akan ada warga Amerika yang mendarat di bulan sebelum akhir dasawarsa 1960-an. Itu ternyata terbukti tahun 1969 (16 Juli) karena didukung semangat nasionalisme yang baik. 

Ronald Reagan juga. Waktu itu (Amerika Serikat) sangat sulit. Amerika morat-marit ekonominya. Begitu Reagan terpilih, lalu bisa dibalik oleh dia. Pajak dipotong untuk memberikan insentif, untuk menggerakkan sektor riil.

Lalu dipompa semangatnya dengan perang bintang (star wars/Strategic Defence Initiative/SDI). Ini memang tidak terlalu baik contohnya karena berupa perang bersenjata ya, tetapi sebagai terobosan teknologi dan ekonomi, ternyata perlu sekali.

Dengan proyek perang bintang, yang maju bukan proyek perang bintangnya thok, tetapi seluruh ipteknya maju terus. Riset-riset didukung. Hal-hal seperti itu belum pernah ada.

Kalau belum pernah ada, bagaimana mengadakannya?
 Itu harus pemimpin. Yang menciptakan harus orang yang punya kharisma, yang punya wibawa dan punya kekuasaan. Kalau orang biasa tidak digubris.

Dulu Bung Karno kan bisa membangun karakter. Harusnya bisa dibanggakan?
Ada semangat berdikari. Sekarang ini digembar-gemborkan oleh JK (Jusuf Kalla). Saya berpendapat, di zaman sekarang ini untuk sama sekali tidak bergantung itu tidak mungkin. Pasti tergantung pada pihak-pihak lain. Tidak bisa dihindari. Tapi yang harus diusahakan sungguh-sungguh, jangan tergantung secara sepihak. Saling tergantung secara timbal-balik oke, tetapi kalau tergantung secara sepihak, jangan sampai.

Kalau misalnya PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) dibikin, itu tergantung satu pihak nyaris 100 persen. Semuanya tergantung, bisa dimainkan mereka karena pengayaan uranium kita enggak bisa. Kalau pun secara potensial bisa, tidak mungkin diizinkan. Kalau kita nekat, pasti dibom, diserang. Semuanya dimonopoli oleh sana. Jadi tergantung.

Seandainya pun kita punya uranium, tidak bisa kita pakai uranium itu kalau tidak diolah menjadi BBN (uklir) Mengolahnya tidak sepenuhnya bisa. Tetapi keberatan saya bukan hanya karena hal ini. 

Biodata:
Nama Lengkap:  Prof Liek Wilardjo, BSc, LCE, MSc, PhD, GCEPA, DSc
Tempat/tanggal lahir:  Purworejo, Jawa Tengah, 24 September 1939
Keluarga:  Istri : dr Mariani Wilardjo, MS
Anak : 1. Sotya Fevriera, SSi, MSc
          2. Retno Maiabita, SSi, MSc

Pekerjaan:  Dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah

Pendidikan:
1. Sarjana (S1) (Doktoral II lengkap, teori), Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA) 
    Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta ( 1964 )
2. Program Master (S2), Michigan State University, East Lansing, Michigan, Amerika
    Serikat ( 1965 )
3. Program Doktor (S3), Michigan State University, East Lansing, Michigan, AS ( 1970 )
    *Disertasi : A Complete Fourth-Order Vibration-Rotation Hamiltonian of H2O-Type  
      Molecules.
    *Spesialisasi : Fisika Molekul
Penghargaan:
1. Doktor Honoris Causa (Dr HC) bidang Science dari Vrije Universiteit, Amsterdam,
    Belanda ( 1990 )
2. Penghargaan untuk Pengembangan Peristilahan Fisika di Indonesia, Brunei
    Darussalam dan Malaysia, dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI ( 1993 )
Perjalanan Karier:
1. Pendiri Laboratorium dan Pengajar Fisika, FMIPA Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga ( 1963 - 1964 )
2. Pembantu Rektor bidang Akademik UKSW, Salatiga ( 1973 - 1975 )
3. Penyusun Kamus Fisika dan Kamus Umum Istilah Ilmu Dasar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud ( 1972 - 1998 )
4. Pembantu Rektor Urusan Akademik UKSW, Salatiga ( 1975 - 1980 )
5. Dekan Fakultas Teknik Elektro UKSW, Salatiga ( 1975 - 1980 )
6. Pembantu Rektor Urusan Perencanaan, Pengembangan, dan Penelitian UKSW, Salatiga ( 1981 - 1985 )
7. Ketua Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, Salatiga ( 1987 - 1990 )
8. Pengajar Filsafat Ilmu, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum dan Ilmu Kedokteran, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang ( 1996 - 2004 ) dan di PDIH Undip 2008 sampai sekarang
9. Anggota Komisi Bioetika Nasional (2004 – 2008)
10. Pengajar Filsafat Ilmu Program Pascasarjana (S3) IAIN Walisongo, Semarang ( 2005-sekarang )
Sumber: Pusat Informasi Kompas


Saparinah Sadli Selalu Dalam Proses Menjadi
Saparinah Sadli
/

Kamis, 25 Juni 2009 | 05:39 WIB

Oleh: Maria Hartiningsih dan  Ninuk Mardiana Pembudy

KOMPAS.com- SEJARAH mencatat ketokohan Prof Dr Saparinah Sadli (81) dalam berbagai peristiwa penting yang menjadi tonggak perjuangan perempuan untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Dia adalah sosok yang ilmuwan dan pekerja hak asasi manusia yang tak pernah pensiun.

Perjalanannya yang panjang dan penuh, teguh dan kukuh, adalah perpaduan antara 'kebetulan-kebetulan yang bermakna', dorongan teman, sahabat dan suami, serta kehendak untuk terus belajar dan bekerja. 

"Setiap orang selalu dalam proses menjadi," ujar Bu Sap – begitu ia disapa – yang ditemui di ruang tamu rumahnya yang meruapkan wangi melati gambir, suatu pagi.

Rumah tua di kawasan Jakarta Selatan itu selalu terasa teduh dengan halaman berumput segar yang dinaungi  pepohonan, semak, dan perdu, dipadu warna cerah dari anggrek dan alamanda. Tak ada yang berubah setelah Prof Sadli, pasangan hidupnya selama lebih setengah abad, berpulang pada tanggal 9 Januari 2008.

"Gordon Allport, ilmuwan psikologi aliran humanistik mengatakan, setiap orang akan terus berubah sebelum meninggal. Selama dia mau belajar, tak ada kata berhenti," lanjut Bu Sap, yang lebih meyakini Allport dibandingkan Freud yang deterministik.

Bu Sap masih membantu Fakultas Psikologi UI dan Program Pascasarjana Kajian Wanita UI, yang dirintisnya sejak tahun 1989. Ia aktif di Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), terus menulis dan saat ini  menjadi anggota tim peneliti tentang gender dan kesehatan reproduksi (kespro) dalam buku pelajaran SD, SMP dan SMA. Hobi barunya, mencari bunga di Pasar Bunga Rawa Belong juga menjadi bagian dari kegiatan rutinnya.

Selain itu, masih ada beberapa kegiatan yang dilakukan. "Aku baru pulang dari Yogya sama Bu Sap," tulis Lies Marcoes-Natsir, peneliti, aktivis dan program officer dari The Asia Foundation, melalui layanan pesan singkat, suatu petang. "Selalu ada perasaan nyaman dekat sama dia. Ibu memang luar biasa, masih jernih, dan penuh semangat."

Terus belajar

Bu Sap yang mengenal perspektif gender melalui psikologi, khususnya dari buku Janet Hyde, Half of Human Experience, Psychology of Women (1974), mengaku terus belajar dari siapa pun yang ia jumpai.

Ia menolak comfort zone, dan tak segan bersinggungan dengan hal-hal baru, termasuk teknologi. "Dulu mau kirim e-mail saja dibantu Pak Sadli," katanya.

Keinginannya untuk terus belajar tidak datang tiba-tiba. Dari dulu ia suka belajar, termasuk dari mantan mahasiswanya yang menjadi rekan kerjanya, khususnya dalam bidang studi feminis. Aktivitas yang banyak menggunakan otak itu juga membantunya mencegah dimensia.
"Sampai sekarang saya bekerja dengan anak-anak muda. Saya beruntung karena mereka masih mengajak saya," papar Bu Sap, menepis mitos 'perekat' para aktivis feminis.

Apa yang dipelajari?
Saya tidak terlalu suka lagi ke seminar. Saya mau yang aktif, seperti membantu melatih ibu-ibu kelas menengah bawah dalam program pendidikan sebaya yang diselenggarakan YKP. Juga program pendidikan bidan modern yang diikuti anak-anak muda dan keluarga dukun (bayi) dari desa dan pelosok. Saya kagum pada perjuangan mereka dan belajar banyak dari interaksi ini.

Bisa sedikit dipaparkan soal penelitian itu?

Kita meneliti sejauh mana upaya mengintegrasikan gender dan kesehatan reproduksi dalam buku-buku pelajaran. Tetapi temuan awal cukup memprihatinkan. Tentang kespro, misalnya, yang diajarkan mengenai hygiene itu lebih mengacu pada agama. Seks bebas dikatakan sebagai pengaruh Barat. Itu yang diajarkan ke anak-anak. Penerbit di sini samasekali tidak mengerti.

Masih sangat panjang

Nama Saparinah Sadli tak bisa dipisahkan dari kelahiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Oktober 1998, yang kemudian ia pimpin sampai tahun paruh pertama tahun 2004.

Komisi yang menjadi tonggak penting perjuangan perempuan itu sampai sekarang masih menjadi satu-satunya komisi nasional di dunia yang secara spesifik menyebut 'anti kekerasan terhadap perempuan'.

Bagian perjalanannya mulai masa reformasi sampai awal tahun 2000-an penuh badai. Ia berada di depan bersama sekolompok tokoh dan aktivis perempuan yang menghadap Presiden Habibie untuk mendesak agar pemerintah mengakui dan minta maaf atas terjadinya pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998. Sejak peristiwa itu kekerasan seksual di daerah-daerah operasi militer mulai terkuak.

Sampai usia 75-an, Bu Sap masih melakukan perjalanan ke Papua, Timor Timur (dulu), Aceh, dan ke pelosok-pelosok negeri. Ia mendorong para aktivis muda yang bekerja untuk hak-hak perempuan, khususnya di akar rumput, melalui Saparinah Sadli Award sejak tahun 2006.

Bagi para aktivis dan pekerja hak asasi manusia, "Bu Sadli adalah pembawa pelita. Kadang berjalan di belakang untuk menerangi. Kadang di depan untuk membuka jalan, kadang di tengah untuk mengingatkan," begitu ditulis Kamala Chandrakirana, yang menggantikannya sebagai Ketua Komnas Perempuan sampai akhir tahun 2009, pada ulang tahun Bu Sap  ke-80. 

Anda optimis dengan masa depan perjuangan perempuan?

Banyak yang sudah dilakukan, tetapi masih banyak pula yang harus dilakukan. Kuota 30 persen perempuan di parlemen penting, tetapi kinerjanya jauh lebih penting. Kondisi kesehatan perempuan sangat serius, meski secara statistik angkanya menurun. Itu hanya beberapa saja dari banyak persoalan yang lain yang dihadapi perempuan.  

Yang harus selalu terus dicermati adalah politisasi identitas, termasuk penggunaan simbol-simbol agama untuk memecah belah perempuan. Posisi perempuan memang rentan dalam era kapitalisme global, tetapi jargon anti neoliberalisme juga digunakan kelompok konservatif untuk agenda mereka sendiri.

Sayangnya, tak banyak pemimpin punya pemahaman cukup tentang keberagaman, keindonesiaan dan makna Bhinneka Tunggal Ika. Mereka tak punya cukup kapasitas sebagai negawaran, dan hanya bermain dengan citra.

Berikut adalah Biodata Saparinah Sadli:

Nama: Prof Dr Saparinah Sadli
Tempat/tanggal lahir: Tegalsari, Jawa Tengah, 24 Agustus 1927
Keluarga: Prof Dr Ir Mohammad Sadli, MSc (suami, almarhum)
Pendidikan, antara lain: 
-  Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), (Sarjana Muda 1953);

- Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1961); Doktor Psikologi UI (1976)

Kegiatan penting: 

- Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, 1998-2004)

- Mendirikan Pusat Studi Kajian Wanita UI,

- Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1996-2000),

- Tim Gabungan Pencari  Fakta (TGPF) kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mana kekerasan seksual menjadi bagian integral (23 Juli-23 Oktober 1998).

- Menulis banyak tulisan ilmiah dan artikel. Bukunya antara lain, Menjadi Perempuan Sehat dan Produktif di Usia Lanjut (2007).


Sjamsoe'oed Sadjad Tidak Putus Berbagi Pengetahuan
Sjamsoe'oed Sadjad
/
Kamis, 25 Juni 2009 | 05:39 WIB

Oleh: Ninuk Mardiana Pembudy

KOMPAS.com- Rumah kediaman Prof Emeritus Dr Ir Sjamsoe'oed Sadjad MSc di kompleks kampus Institut Pertanian Bogor di Darmaga, Bogor, Jawa Barat, kelihatan unik. Di halaman depan tumbuh rumpun bambu yang batangnya melengkung menaungi jalan di depan rumah. Dia tidak mengubah sedikit pun bentuk rumah yang desainnya dibuat Presiden Soekarno ketika merancang kampus perguruan tinggi pertanian yang cikal bakalnya dari Universitas Indonesia itu.

Prof Sadjad (78) tinggal sendiri di sana setelah istrinya meninggal dunia tahun 2000 dan keempat anaknya (satu meninggal dalam bencana tsunami di Aceh tahun 2004) hidup mandiri. Satu cucunya yang belajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) tinggal bersama Prof Sadjad dan sedang praktek lapang.

Seekor kucing hitam menemani keseharian ahli benih ini. Tukang kebun dua hari sekali mengurus tanaman rimbun di sekeliling halaman dan tukang masak datang untuk memasak dan membereskan rumah setiap hari.

Meskipun pionir dalam ilmu dan teknologi benih di Indonesia—dia memimpin laboratorium benih IPB mulai 1 Januari 1964—tetapi pembaca Harian Kompas mengenal Prof Sadjad melalui pikirannya yang menyentuh berbagai aspek pertanian: sosial, ekonomi, dan politik. Tulisan pertamanya di Kompas, tahun 1977, tentang peran para pengelola air.

"Saya tidak pernah berhenti menyampaikan paradigma saya. Sebagai ilmuwan saya teknolog, tetapi pikiran saya yang divergen tidak dibatasi tembok laboratorium," kata Prof Sadjad.

Dia memilih media massa sebagai sarana menyampaikan pikirannya. Minat dan perhatiannya luas karena ketika belajar di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, Prof Sadjad harus menulis empat skripsi: dua skripsi mayor bidang politik pertanian dan agronomi serta dua skripsi minor di bidang  usaha tani dan peternakan.

Petani sebagai industriawan
Menurut Prof Sadjad, pertanian harus dilihat sebagai proses industri karena dalam mengolah lahan, petani melakukan sistem manajemen dan memerlukan aset. yaitu tanah yang bisa hak milik atau sewa, modal, dan proses yang menghasilkan produk. Nyatanya, petani tidak pernah diajar memiliki mental industriawan. Dan dia mengakui, pada dirinya pun pemikiran itu datang belakangan.

Petani industriawan?
Petani perlu memiliki mental sebagai industriawan agar dapat meningkatkan sendiri kesejahteraannya dengan memproses hasil pertanian untuk mendapat nilai tambah.
Pertanian selalu dianggap tidak punya kredibilitas dengan alasan risikonya tinggi dan hasilnya kecil.

Kredit pertanian memang dikucurkan pemerintah, tetapi sifatnya tidak mendidik, tidak persuasif. Hasilnya, petani terus mengharapkan bantuan, subsidi, dana hibah.

Luas sawah 8 juta hektar dan bila per meter dihargai Rp 100.000, maka seluruh lahan sawah itu bernilai Rp 8.000 triliun. Kok bisa dengan aset begitu besar petani menjalani usaha taninya dengan harkat begitu rendah?

Itu karena cara berpikir dengan mengukur petani dari kepemilikan tanah, sementara sebagian besar petani hanya memiliki 0,3 hektar. Itu stigma menyengsarakan.

Mengubah cara pandang itu?
Harus ditumbuhkan kesadaran dan gerakan dari bawah. Di IPB baru ada seminar tentang bank pertanian yang dihadiri Menteri Pertanian dan Deputi Bank Indonesia. Bank pembangunan pertanian adalah cara memberi modal kepada petani. Daripada uang triliunan diberikan untuk bantuan langsung tunai (BLT), lebih baik untuk modal bank pertanian.

Jadi, petani dididik menggunakan modal untuk mengembangkan usaha. Besarnya pinjaman disesuaikan dengan tabungan dia.

Sistem industri pertanian?
Paradigma saya, ada univalensi. Maksudnya, membangun desa artinya membangun pertanian dan sebaliknya. Karena desa dan pertanian harus menyatu, maka harus menjadi desa industri. Industri di sini adalah industri alternatif, seperti makanan, garmen, tenun, batik, atau kerajinan berbasis desa.

Di sini berpikir harus dalam sistem dan subsistemnya, pemangku kepentingan di sana, yaitu perbankan, swasta, koperasi, dan perguruan tinggi.

Subsistem swasta adalah mereka yang bergerak di bidang pertanian, seperti hypermarket. Mengapa dimusuhi? Kalau petani tahu ada pasar yang mapan, maka dengan mental industrial dia akan berproduksi dengan efisiensi dan mutu tinggi, mengusahakan nilai tambah dan pembagian keuntungan tinggi. Hal seperti itu mendorong petani berpikir rasional.

Koperasi untuk mengorganisasikan petani karena dapat mengakomodasi kearifan lokal, seperti gotong royong, tenggang rasa, kepedulian.

Peran perguruan tinggi, saya mendorong pendamping profesional untuk petani, diambil dari jalur profesional, program diploma, yang sekarang mentok sampai D-3. Seharusnya sampai D-4 setingkat S-1, diteruskan ke spesialis-1 setingkat magister dan spesialis-2 setingkat doktor karena peraturan Departemen Pendidikan Nasional membolehkan.

Produk, proses, paradigma
Sebagai intelektual, Prof Sadjad merasa harus menghasilkan produk, proses, dan paradigma. Produk sudah dia hasilkan dalam pekerjaan sebagai dosen ilmu dan teknologi benih, berupa alat pengecambah benih dan menemukan kertas merang sebagai media tumbuh benih.

Dalam proses, dia menemukan peran etanol sebagai pengusang cepat untuk memprediksi daya simpan benih. Penemuan itu memberi dia gelar doktor dari IPB, sementara S-2 didapat dari Mississippi State University.

Tentang paradigma, Prof Sadjad melihat itu sebagai komitmen intelektual untuk masyarakat yang tidak dibatasi dinding laboratorium dengan menulis pemikirannya melalui media massa.

Tulisan pertama terbit di Gema Islam tahun 1964, "Kiai dan Pertanian". Setelah itu dia menulis di berbagai media massa, yang terbanyak di Kompas. "Kalau tulisan termutakhir dimuat, jumlahnya 300 buah," kata dia.

Dia juga sudah menghasilkan 150-an tulisan ilmiah dan 20 buku. Sudah 170 mahasiswa S-1 dia bimbing, 20 mahasiswa S-2, dan 10 mahasiswa S-3 sebagai ketua tim pembimbing. Dia meninggalkan penerus di laboratorium benih, sebagian besar berpendidikan S-3, dua bahkan sudah profesor.

Kini, waktunya diisi dengan menulis. Semua ditulis tangan sambil duduk di kursi malas ruang tengah karena kata dia, jari-jarinya tidak mau diperintah mengetik, hasilnya banyak yang salah.
Berpulangnya anak perempuan bungsu dan dua cucunya karena tsunami di Banda Aceh 2004 sangat memukul Prof Sadjad.

"Saya shock sekali. Empat tahun menata perasaan setelah istri meninggal, lalu putri dan dua cucu saya menyusul. Dia dosen Syiah Kuala, PhD matematika," kata Prof Sadjad.

Prof Sadjad tidak mau hidupnya patah. Kesedihan dia tumpahkan dengan menulis lima buku. "Yang terakhir mengenai otobiografi saya," kata dia.

Biodata Prof Emeritus Dr Ir Sjamsoe'oed Sadjad MSc:

Tempat/tanggal lahir: Madiun, Jawa Timur; 24 Juni 1931

Pendidikan:

- Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (1961);

- magister ilmu dan teknologi benih di Mississippi State University (1963);

- doctor ilmu pertanian Institut Pertanian Bogor (1972); guru besar Fakultas Pertanian (Faperta) IPB (1981).

Keluarga: Istri: Retno Winarni (meninggal tahun 2000); anak: Rhiza, Mirza, Elza, dan Roza (meninggal); kakek 10 cucu (dua meninggal)

Pekerjaan:

- staf pengajar Fakultas Pertanian IPB (1957-1996);

- Dekan Fakultas Pertanian IPB (1965-1966);

- Kepala Laboratoirum Ilmu dan Teknologi Benih IPB (1964-1996);

- Guru Besar emeritus IPB (1996-sekarang).

Karya: 298 artikel populer di media massa; 170-an karya ilmiah; dan 20 buku, antara lain Dari Benih Kepada Benih (1993), Potensi Desa dalam jelajah Agropolitik (2005), dan Perjalanan Hidup di Antara Narcissism dan Inferiority Complex (2008).


Kartono Muhammad Tak Lelah Berteriak
dr Kartono Mohamad

Kamis, 25 Juni 2009 | 05:37 WIB

oleh : Try Harijono/ Evy Rachmawati

KOMPAS.com- Tulisannya kritis dan tajam. Mungkin ada pihak yang tersinggung. Namun, contoh-contoh di lapangan serta data-data yang dipaparkan dalam tulisan itu sulit dibantah. Begitulah dr Kartono Mohamad (70) menulis.

Bukan akhir-akhir ini saja ia aktif menulis. Dokter kelahiran Batang, Jawa Tengah 13 Juli 1939 ini sudah menulis untuk Kompas sejak 1972. Tidak kurang dari 234 tulisannya  dimuat di Harian Kompas.

Isi tulisannya terutama menyangkut persoalan kesehatan dalam arti luas. Selain persoalan kebijakan kesehatan,  pelayanan kesehatan, medis, dan obat-obatan, profesi dokter, etika kedokteran dan layanan rumah sakit juga diulasnya. Kartono mampu menjelaskan kepada pembaca, duduk persoalan dari suatu peristiwa secara jernih. Persoalan yang rumit, bisa dipaparkan secara sederhana sehingga mudah dimengerti pembaca. Begitulah Kartono.

Cita-citanya sejak awal memang ingin  meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara menyeluruh. "Menulis sangat membantu pemahaman masyarakat terhadap persoalan-persoalan  kesehatan," kata Kartono.

Bukan cuma menulis artikel di media massa, Kartono juga menulis sejumlah buku kesehatan, termasuk aspek hukum dan etika profesi kedokteran. Dokter  lulusan Universitas Indonesia 1964 ini juga sempat praktek melayani kesehatan masyarakat. Selain itu, ia juga mengajar Etika di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta (1992-1996), serta menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri, dan Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Medika.

Dokter di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Mayor ini juga aktif di berbagai organisasi, termasuk sempat menjadi Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonedia (PB IDI) 1985-1988. "Melalui organisasi, lebih mudah memperjuangkan cita-cita di bidang kesehatan," kata Kartono.

Cita-citanya di bidang kesehatan antara lain memberikan perlindungan kepada masyarakat sejak dalam kandungan hingga orang tua (healthy people in every stage of life) serta memberikan perlindungan kesehatan kepada masyarakat di mana pun dia berada (healthy people in healthy places), seperti yang juga diperjuangkan pemerintah Amerika Serikat.

"Puskesmas dulu tujuannya mulia untuk melindungi kesehatan masyarakat, tapi sekarang bergeser menjadi tempat pengobatan," kata Kartono Mohamad.

Memperkuat IDI
Salah satu pencapaian bidang kesehatan yang diraih Kartono adalah membenahi organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ketika dia menjadi Ketua Pengurus Besar (PB) IDI 1985-1988. Di bawah kepemimpinannya, struktur organisasi IDI diperkuat sehingga  tidak sebatas perkumpulan yang dikelola secara  bergantian.

Di IDI misalnya, atas gagasannya, dibentuk Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEKI). Majelis ini anggotanya dokter-dokter dari berbagai angkatan, berlatar belakang berbagai agama, budaya, etnis dan latar belakang keahlian. Majelis ini secara truktural tidak di bawah Ketua PB IDI, tetapi di bawah Kongres.

"Karena itu keputusannya bisa obyektif dan bahkan bisa menegur atau menindak tegas ketua umum organisasi bila terbukti melanggar disiplin kedokteran," kata peraih penghargaan Satya Lancana Satya Dharma (1962) dan Satya Lancana Penegah (1970) ini.

Selain meletakkan tonggak awal upaya menegakkan etika kedokteran, Kartono juga menggagas pendirian Badan Pembelaan Anggota  PB IDI. "Setiap dokter yang tengah menghadapi masalah terkait etika kedokteran akan mendapat pendampingan hingga dokter bersangkutan mendapat putusan apakah melanggar etika atau tidak secara adil dan obyektif," ujarnya.

Adapun untuk melindungi kepentingan pasien, ia dan jajaran pengurus IDI membuat lembaga pengaduan. Hampir setiap surat keluhan dari masyarakat yang masuk ke PB IDI dijawab sendiri oleh Kartono. "Sebagian besar kasus yang diadukan adalah soal komunikasi. Masalah komunikasi antara dokter dan pasien memang masih harus terus ditingkatkan.  Namun bila ada dugaan pelanggaran etika kedokteran, saya akan mengajukan ke MKEK untuk diproses lebih lanjut," ujarnya.

Di bawah kepemimpinan Kartono, PB IDI juga berani bersuara keras, bahkan kritis terhadap berbagai persoalan kesehatan dan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Padahal, rezim Orde Baru saat itu sangat represif. Namun kritis Kartono yang disampaikan secara lisan maupun lewat tulisan di media massa, justru membawa berkah bagi pembangunan kesehatan. PB IDI sejak saat itu mulai didengar pendapatnya dalam pembangunan bidang kesehatan dan sejumlah persoalan kesehatan.

Tidak lelah

Di usia senja, semangatnya untuk memperjuangkan keadilan dan perbaikan bidang kesehatan terus menyala. Kini ia menjadi penasehat di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, pengurus Yayasan AIDS, ikut aktif dalam Koalisi untuk Indonesia Sehat dan gerakan pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan, pengurus Bina Antar Budaya, tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan Rakyat, dan aktivitas sosial lain.

Kartono juga ikut aktif dalam penyusunan Revisi Rancangan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tahun 2001-2004. Namun, hingga kini revisi RUU itu belum juga kelar. "Kadang frustrasi juga melihat perjuangan tak juga menampakkan hasil, banyak masalah kesehatan di Indonesia yang tidak tertangani dengan baik," kata Kartono.

"Namun saya tidak lelah, saya akan terus berteriak...," tambah Kartono di rumahnya yang asri  di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Dari sekian banyak persoalan kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia, menurut Kartono, kunci persoalannya adalah, tidak jelasnya arah pembangunan kesehatan Indonesia. "Pembangunan bidang kesehatan tidak pernah dianggap sebagai investasi untuk membangun kualitas sumber daya manusia," kata Kartono.

Pemerintah menginginkan kualitas pendidikan meningkat, namun tidak disertai dengan pembangunan kesehatan masyarakat. "Kualitas pendidikan yang bagus akan sulit tercapai jika peserta didiknya kurang darah, kurang gizi, congekan, cacingan, dan menderita berbagai penyakit lain," ujarnya.

Karena itu, tantangan bidang kesehatan ke depan adalah negara harus melaksanakan pembangunan kesehatan yang memprioritaskan upaya preventif atau pencegahan penyakit, bukan malah memfokuskan diri pada upaya kuratif dengan memperbanyak pendirian rumah sakit.

 Kebijakan membangun Puskesmas untuk mengembangkan pola hidup sehat di kalangan masyarakat kini berubah menjadi semacam "rumah sakit kecil" yang mengobati masyarakat yang sakit. "Karena ketidakjelasan konsep kesehatan, para dokter di Indonesia seperti petugas pemadam kebakaran. Dokter bertindak kuratif mengobati orang sakit," kata Kartono.

 Kartono juga mengkritik tidak adanya lembaga pengawas yang mengoreksi kalau ada kesalahan dalam pelayanan kesehatan. "Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan wasit pun ikut bermain. Banyak rumah sakit milik pemerintah yang malah bersaing dengan rumah sakit swasta," ujarnya.

Dalam hal harga obat, Kartono menilai pemerintah dengan sengaja menyerahkan kepada pasar. Tidak ada pengendalian jumlah obat, pembatasan jumlah merek obat, dan jumlah pabrik obat. Tidak ada pertimbangan apakah perlu ada kekhususan dalam produksi obat tertentu dan membatasi jumlahnya."Jadi harga obat dan pemilihan obat diserahkan sepenuhnya ke pasar," ujarnya.

Dokter TNI-AL

Kartono Mohamad dibesarkan dalam keluarga besar dengan delapan bersaudara di Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Ayahnya, Mohamad, adalah pengusaha yang pada masa itu aktif dalam pergerakan untuk menentang pemerintah kolonial  Belanda, bahkan sempat diasingkan ke luar Jawa.

Saat ayahnya tewas ditembak pasukan Belanda, Rukayah, ibunya, menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan kue di pasar. Sebagai orang tua tunggal, ibunya bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya yang masih kecil, setinggi mungkin.

Berkat ketekunannya, Kartono diterima di beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka. Atas saran ibunya, ia lalu memilih masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan alasan bisa satu kota dengan kakaknya.

Setelah menempuh kuliah selama beberapa semester, ia mendapat beasiswa ikatan dinas dari TNI Angkatan Laut. Ia mengambil ikatan dinas tersebut, selain untuk meringankan beban ibunya, juga karena  fasilitas yang ditawarkan TNI-AL amat bagus. Begitu lulus kuliah, Kartono bertugas melayani kesehatan masyarakat di Kepulauan Seribu.

Pernah bertugas di sejumlah kapal, termasuk KR Irian yang merupakan kapal penjelajah terbesar di Asia saat itu, Kartono juga sempat ditugaskan menghadang kapal induk Inggris yang akan melintasi Laut Jawa. Saat bertugas di Angkatan Laut (1964-1975) itulah, Kartono menerbitkan majalah kedokteran dan aktif menulis berbagai persoalan kesehatan untuk membangun komunikasi di kalangan sesama dokter, serta menggugah semangat pengabdian para dokter. Semangat pengabdian itu, hingga kini masih berkobar di dada Kartono Mohamad. 

Biodata Kartono Mohamad:

Nama: Dr. Kartono Mohamad 
Tempat, Tanggal Lahir : Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939
  
KELUARGA :
- Hatma Wigati (isteri) 
- 1. Luki Andrini (anak) 
- 2. Niko Anindita (anak) 
- 3. Windu Kirana (anak)  
  
PENDIDIKAN : 
- SD Negeri ( 1951 ) 
- SMP Negeri I, Pekalongan ( 1954 ) 
- SMA Negeri I, Pekalongan ( 1954 ) 
- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Jakarta ( 1964 ) 
  Khusus :
- General Management, Universitas Krisna Dwipayana Jakarta, ( 1970 ) 
- Hospital and Medical Management Observation Training, US Navy Hospital, San Diego, AS ( 1971 ) 
- Health and Family Planning Management Training Dubrovnik, Yugoslavia ( 1979 ) 
- Potential Problem Assesment and Decision Making, LPPM Jakarta ( 1981 ) 
- Potential Problem Assesment and Decision Making, LPPM Jakarta ( 1981 )  
  
PERJALANAN KARIER : 
- Redaktur Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri 
- Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Medika ( 1975 ) 
- Dosen Etika Fakultas Kedokteran Trisakti ( 1992 - 1996 ) 
- Visiting Professor on Medical Sociology, Mahidol University, Bangkok ( 1996 - 1997 ) 
- Dosen Luar Biasa Bioetika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), Jakarta ( 2000 ) 
  Pemerintahan :
- Dokter (Mayor) TNI-AL ( 1964 - 1975 ) 
  Legislatif :
- MPR dari Utusan Golongan ( 1987 - 1992 )  
 
KEGIATAN LAIN :
- Ketua Medical Association of ASEAN 
- Ketua Umum Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat 
- Pengurus Perhimpunan Ekonomi Kesehatan Indonesia 
- Pengurus Yayasan AIDS Indonesia 
- Pengurus Persatuan Pemberantasan TBC Indonesia 
- Redaksi Pelaksana Majalah Ilmu Bedah Ropanasuri 
- Anggota Tim Pengkaji Hukum Kesehatan BPHN/ Depkeh  

-  Ketua Dewan Mahasiswa UI, Jakarta ( 1963 ) 
- Sekretaris IDI Cabang Jakarta ( 1977 - 1979 ) 
- Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta ( 1979 - 1982 ) 
- Ketua Pengurus Besar IDI ( 1985 - 1988 ) 
- Anggota Penyusun Rancangan Revisi Undang-undang No.23 /92 tentang Kesehatan ( 2001 - 2004 )


Maria SW Sumardjono Selalu Bertanya
Prof Dr Maria SW Sumadjono
/

Kamis, 25 Juni 2009 | 06:03 WIB

Oleh Bambang Sigap Sumantri

KOMPAS.com- Gaya seperti ini untuk apa? Bagaimana hasilnya, coba lihat? Begitu kata Prof Maria ketika berlangsung sesi pemotretan di kebun belakang rumah yang asri itu. Lalu dengan penuh ingin tahu, ia memperhatikan secara saksama  hasil jepretan fotografer Kompas di monitor kamera. 

Itulah salah satu contoh daya kritis Maria yang seakan tanpa batas dan tak berakhir walaupun usianya sudah menginjak 66 tahun. "Memang saya begitu, selalu bertanya apapun termasuk ketika dipotret," ujarnya dengan senyum terkembang.

Guru Besar Hukum Agraria UGM yang pensiun tahun lalu itu masih sangat sehat. Pikiran jernih dan mampu menanggapi berbagai permasalahan aktual yang terjadi di negara ini. Bukan hanya masalah pertanahan yang sudah menjadi spesialisasinya, namun juga info aktual terakhir tentang persidangan Bupati Sleman yang kini dalam proses pengadilan. 

Selain suka tanaman, Maria mencintai buku apa saja, termasuk sastra. Di rak perpustakaan pribadinya di sela-sela kitab hukum, berderet pula berbagai buku sastra mutakhir mulai dari cerita Winnetou-nya Karl May sampai dengan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. "Sekarang saya lagi mengulang membaca buku NH Dini, Pada Sebuah Kapal," ungkapnya.

Pemilik nama lengkap Prof Dr Maria Sri Wulan (biasa disingkat SW) Sumardjono SH MCL MPA ini ternyata juga menyenangi nonton bioskop. Film terakhir yang dinikmati,"Knowing, mau nonton Angels and Demons kok belum ada waktu. Nanti sebentar lagi ada film bagus Reader," tuturnya  ketika ditemui Jumat (12/6) di Yogyakarta. 

Maria dikenal sebagai tipe orang suka bekerja keras, menjujung tinggi tenggat waktu dan disiplin. "Membaca buku sastra, berkebun dan nonton film merupakan keseimbangan," katanya.

Dari kiprah dan karya yang telah dihasilkan, Maria jelas seorang ilmuwan profesional yang tangguh. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1966, ia kemudian berkarier di UGM. Pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum UGM, lalu menjadi Kepala Pusat Pengkajian Hukum Tanah FH UGM, konsultan berbagai lembaga dalam negeri maupun internasional.

Dengan keahlian yang dimiliki itu, Maria juga pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional 2002-2005. Ia juga sering terlibat dalam penyusunan berbagai undang-undang, khususnya yang berhubungan dengan pertanahan.

Sebagai ilmuwan, tiap tahun Maria selalu mengadakan penelitian dengan sponsor berbagai lembaga. Dari berbagai penelitian itu, Maria selalu berusaha menerbitkan hasilnya menjadi buku yang bisa berguna bagi masyarakat luas. Tak heran banyak bukunya yang diterbitkan Penerbit Kompas sudah mengalami cetak ulang.

Maria berasal dari keluarga mampu. Sang ayah pernah mempunyai pabrik rokok. "Tetapi tidak terkenal, namanya Bima Sakti, hatinya mungkin tidak di bisnis rokok, ayah sebenarnya lebih banyak berkarya di belakang organisasi, memperkuat Gappri (Gabungan Pabrik-pabrik Rokok Indonesia) dan kemungkian itu menurun ke anak-anaknya ," ujar perempuan yang masih aktif mengajar ini. 

Salah satu titik perjalanan hidup yang membuatnya mengenal nilai-nilai disiplin ketika ia bersekolah dan tinggal di asrama. Ia lahir di Yogya, bersekolah SMP di Kudus, lantas melanjutkan di SMA Sedes Sapientiae, Bangkong Semarang. Di sekolah terakhir sebelum melanjutkan ke Universitas Diponegoro itu, Maria tiga tahun di asrama puteri. Ia harus bangun dan tidur tepat waktu dan juga belajar mengelola hidup dengan berbagai karakter.
 
Anda suka bekerja keras, apakah ini pengaruh keluarga?
Dari dulu orangtua selalu menekankan tolong bekerja pada bidang yang bisa berbuat sesuatu untuk orang lain, dan itu harus ditekuni betul. Tekanannya itu  usaha menolong orang lain, orang banyak.

Itu yang selalu saya ingat. Kerja keras, artinya setelah  kita memilih itu ya harus all out. Jadi jangan pernah berhenti atau menoleh ke belakang. Itu semua risiko harus siap dijalani, tak bisa memilih misalnya yang enak-enak saja. 

Kerja keras untuk pilihan itu harus dilaksanakan secara konsekuen. Itu suatu etos.  Memperoleh sesuatu itu tak ada yang mudah, harus dengan susah payah. Harus ada waktu, tenaga, harus disiplin, semua ini harus sesuai dengan perencanaan.

Tenggat waktu  sangat berarti, karena kalau punya kebiasaan mundur, mundur sedikit itu bertentangan dengan nilai kerja keras. Kalau sudah menentukan tenggat ya harus ditepati, sebab itu  kunci.

Orang itu senang memberikan pekerjaaan kepada saya karena tahu akan selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Jadi time management itu penting. Ini bisa kalau kita disiplin.

Bagaimana dengan lingkungan kita yang masih penuh dengan jam karet,  tidak disiplin, apakah hal ini tidak mempengaruhi?
Tidak. Saya datang di ruang kuliah kadang-kadang mahasiswanya belum datang, saya sudah duduk di ruangan. Kalau kuliah jam tujuh, saya sebelum jam tujuh sudah berangkat dari rumah (rumah dengan kampus hanya berjarak sekitar dua kilometer). Mahasiswa belum datang, ya tidak masalah. Saya nikmati saja. Orang yang melihat akan risi sendiri, akhirnya kalau memang tidak ada hal-hal di luar kemampuan mesti mereka tidak akan terlambat.

Juga memberikan kuliah harus sekian minggu misalnya, bahan harus disiapkan dan semua harus ditepati, ya memang kita harus disipilin. Ini semua mungkin karena sudah terbiasa dari pendidikan, lingkungan itu terbawa terus sampai kini.

Apakah Anda tidak merasa kecewa yang lain tidak tepat  waktu?
O tidak. Hal yang baik harus dimulai dari diri sendiri, tetapi jangan pernah memaksakan sesuatu kepada orang lain. Soalnya yang namanya perilaku itu kan tak bisa diubah dalam waktu satu hari. Tetapi mudah-mudahn menular dan yang lain mengikuti.

Saya tidak pernah merasa putus asa. Misalnya saya punya satu pendapat yang menurut penilaian kita ini obyektif, rasional, dan sesuai hati nurani, lalu  kita  sampaikan pada orang lain. Itu ya sudah kita sampaikan pada orang lain. Kalau ditanggapi secara positif, kita bersyukur, tetapi seandainya tidak ya tidak masalah. 

Karena jiwa ilmuwan itu mesti tidak ada kehendak untuk memaksakan pendapat kepada orang lain. Memonopoli kebenaran, itu harus jauh. 

Mengapa memilih hukum agraria?
Hukum itu karena lekat dengan keadilan, ini sudah sesuai dengan nasihat orangtua, bahwa kami anak-anaknya harus berguna bagi orang lain. Mengapa hukum agraria karena almarhum Profesor Suhardi yang menghendaki, beliau itu memempunyai karakter yang unik, guru besar yang tidak mengarahkan atau mendikte asistennya.

Saya pada awalnya agak bingung. Lalu kalau saya memberi kuliah itu kuliah apa, ya tolong cari sendiri bahannya. Jadi justru karena cara yang tidak khusus itu saya belajar menemukan segala sesuatu dari diri saya sendiri.

Ketidaktergantungan pada orang lain itu saya dapat dari Prof Suhardi. Orang itu kalau diberi kepercayaan, dan itu berat, karena berat saya akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memberikan yang terbaik.

Mungkin kalau dulu saya diarahkan ada perasaan tergantung. Hal ini  ini sesuai dengan didikan dari rumah, saya dibiarkan berkembang sendiri. Kebetulan  di UGM, Prof Suhardi dengan cara khas memberi kepercayaaan segala sesuatu sendiri, kalau perlu bisa berdiskusi. Akhirnya saya menemukan hukum agaria itu ya mulai dari tungganglanggang sendiri.

Masalah tanah itu rawan, penuh dengan muatan konflik, apalagi Anda  sudah kritis sejak zaman Orde baru, tidak pernah merasa khawatir?
Saya itu khawatir dan takut kalau  tidak melakukan sesuatu yang harus saya lakukan.  Itu malah membuat saya takut. Atau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak saya lakukan, itu yang harus ditakuti orang.

Saya tahu saya harus melakukan sesuatu, saya harus berpendapat, tetapi saya tidak melakukan itu, itu malah saya takut. Karena berarti ada yang salah dalam diri saya. Atau saya seharusnya tidak melakukan, tetapi saya lakukan, itu juga salah.

Menyampaikan pendapat itu harus obyektif -rasional, tetapi kita juga harus mempunyai empati. Antara yang di hati dan kepala itu nyambung, cara penyampaian menjauhkan subyektivitas sejauh mungkin.

Saya kira siapapun yang diberi kritik membangun, memberi solusi, ya kenapa harus khawatir. Bahwa kritik itu ditanggapi tadi saya katakan, kita harus bersyukur. Kalau tidak ditanggapi ya sudah, itu kan sudah exercise mental. Saya suka pepatah latin: Cogito ergo sum, saya berpikir karena itu saya ada. Lalu kalau kita ini berhenti berpikir kita ini kan nggak ada.
 
Agenda permasalahan apa yang  mendesak untuk diselesaikan pemerintah sekarang ini?
Yang pertama harmonisasi atau sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait sumber daya alam (SDA) yaitu tanah, air, hutan, tambang dan lain-lain.

Selama ini peraturan perundang-undangan SDA inkosisten, tumpang tindih satu sama lain dengan akibat degradasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Ada juga  ketimpangan dalam akses untuk perolehan dan pemanfaatan SDA dan  terdesaknya hak-hak masyarakat adat serta  masyarakat lokal terhadap SDA yang merupakan ruang hidupnya.

Ini masih ditambah dengan berbagai sengketa dan konflik terkait penguasaan dan pemanfaatan SDA. Karena itu, perlu suatu lembaga di tingkat nasional yang berwenang untuk mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi kebijakan terkait SDA.

Kedua, terkait penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya yang lain, diperlukan kebijakan yang dapat memperkecil perbedaan posisi tawar antara investor (domestik maupun asing) dan masyarakat pada umumnya.

Kebijakan yang memberikan peluang dan kepastian hukum tentang penanaman modal di bidang SDA harus diimbangi dengan kebijakan untuk memperkuat hak-hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam yang lain.

Perlu ada kebijakan yang memberikan keseimbangan antara kepentingan berbagai pihak yang modal awalnya (SDM, akses modal, akses politik, teknologi dan lain-lain) tidak sama, yaitu melalui kebijakan yang berintikan keadilan korektif (positive discrimination).

Ketiga, hak-hak rakyat atas tanah dan pemanfaatan SDA yang lainnya itu dapat dilakukan melalui program Pembaruan Agraria. Intinya adalah restrukturisasi penguasaan dan pemilikan SDA (aset) disertai dengan pemberian peluang (akses) terhadap permodalan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia dan lain-lain.

Realisasi program Pembaruan Agraria harus disertai dengan upaya nyata untuk menyelesaikan konflik agraria yang telah terjadi, disamping mencegah terjadinya konflik dan sengketa yang baru. Potret keberhasilan program Pembaruan Agraria perlu dipublikasikan sebagai proses pembelajaran yang positif.

Biodata

Nama    : Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono, SH, MCL, MPA.
Tempat/tanggal lahir Alamat : Yogyakarta, 23 April 1943
Alamat    : JI. Sartika 7 Yogyakarta 55223
No. Tlp/Fax   : (0274) 563528

Keahlian   : - Hukum Agraria/Pertanahan

I. Riwayat Pendidikan :
1. Sarjana Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 1966
2. Master of Comparative Law (MCL) Southern Methodist University (SMU) Dallas, Texas, Tahun 1978.
3. Master of Public Administration (MPA), University of Southern California (USC), Los Angeles, California, Tahun 1984.
4. Ph.D, University of Southern California (USC), Los Angeles, California, Tahun 1988.
II. Riwayat Pekerjaan :
1. Dekan Fakultas Hukum UGM, Tahun 1991-1997.
2. Kepala Pusat Pengkajian Hukum Tanah (PPHT), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Tahun 1995 - sekarang.
3. Anggota Dewan Riset Nasional, Tahun 1993 - 1995.
4. Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Tahun 1995 – 2000.
5. Anggota Tim Pakar Departemen Hukum dan Perundang - undangan, Tahun 1998 - 2000.
6. Lead Expert Land Administration Project (LAP), Tahun 1998.
7. Anggota Tim Ahli Panitia Ad Hoc I, BP MPR – RI, Maret - Agustus 2001.
8. Narasumber Panitia Ad Hoc II, BP MPR – RI, Tahun 2001.
9. Koordinator Kelompok Studi Pembaruan Agraria, Tahun 2001 - Sekarang.
10. Konsultan Asian Development Bank (ADB) untuk Capacity Building to Support Decentralized Administrative Systems (CB SDAS), Februari 2000 - Januari 2001.
11. Konsultan Asian Development Bank (ADB) untuk National Resettlement Policy Enhancement and Capacity Building, April - November 2001.
12. Konsultan Asian Development Bank (ADB) untuk Policy - Making Process for Regional Autonomy in Indonesia: Research and Publication, Juli - November 2001.
13. Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional, Februari 2002 - Februari 2005.
14. Anggota Dewan Penyantun Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), mulai Januari 2007.

III. Penghargaan
1. Satya Lencana Kesetiaan, 25 tahun pengabdian sebagai staf pengajar UGM.
2. Piagam Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama sebagai Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria, Tahun 1998.

Tidak ada komentar: