Namun, keterbatasan kemampuan sebagian masyarakat mengelola pendidikan tampak dari masih relatif tingginya angka putus sekolah. Di tingkat pendidikan dasar, putus sekolah masih menjadi "momok" upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun.
Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu juta siswa per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80 persen) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP).
Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
Kemiskinan daerah
Pada era otonomi daerah ini asumsi awal melihat besarnya angka putus sekolah adalah situasi kemiskinan yang melilit kemampuan penduduk ataupun pemerintah suatu wilayah dalam memenuhi kebutuhan pendidikan.
Fakta menunjukkan, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo, dan Maluku Utara pada tahun 2007 termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi yang lain.
Kecuali Maluku yang mencatat angka 1,45 persen, putus sekolah SD di empat wilayah lain mencapai 3-5 persen. Di tingkat SMP angkanya lebih tinggi lagi, yaitu 2-7 persen.
Kekurangberdayaan secara ekonomi di provinsi-provinsi tersebut memengaruhi kelangsungan pendidikan di wilayahnya. Dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, total anak putus sekolah SMP di lima provinsi tersebut hampir mencapai 10.000 anak, sementara lebih dari 31.00 siswa SD juga mengalami putus sekolah. Namun, kemiskinan rupanya tidak selalu menjadi satu-satunya penyebab.
Paling tidak, jika mencermati nilai PDRB setiap provinsi di Indonesia, tampak jika wilayah yang "kaya" belum tentu lebih unggul dalam angka putus sekolah. Ambil contoh DKI Jakarta yang merupakan provinsi "terkaya" dengan nilai PDRB mencapai Rp 563,8 triliun pada tahun 2007. Jakarta berada di atas rata-rata nilai PDRB nasional yang sebesar Rp 96 triliun.
Namun, sayang, penuhnya pundi uang yang dimiliki Jakarta belum berhasil menurunkan angka putus sekolah di provinsi yang juga menjadi ibu kota negara ini.
Pada tahun ajaran 2005/2006 hingga 2006/2007 angka putus sekolah SD di Jakarta masih menyentuh angka 1,78 persen. Persentase ini bahkan lebih tinggi dari beberapa provinsi lain dengan pendapatan regional jauh di bawah Jakarta, seperti Sulawesi Tenggara (1,37 persen) dan DI Yogyakarta (1,21 persen).
Akses sekolah
Selain masalah ekonomi wilayah yang menjadi pendorong tak tertanganinya kasus-kasus putus sekolah, kendala teknis yang bersifat mikro juga menjadi penyebab terhentinya anak bersekolah.
Lokasi yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan juga menjadi penyebab anak enggan berangkat hingga akhirnya putus sekolah.
Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, seperti wilayah-wilayah pedalaman, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Jika kondisi transportasi wilayah memang sulit dan memakan biaya besar, bisa dipastikan putus sekolah bagi si anak tinggal menunggu waktu.
Data menunjukkan bahwa sebagian kasus putus sekolah banyak terjadi di wilayah-wilayah yang secara geografis masih kesulitan sarana transportasi. Beberapa provinsi yang wilayahnya luas seperti yang ada di Indonesia bagian timur dan beberapa di bagian barat masih memiliki kendala transportasi seperti ini.
Misalnya, Maluku dan Papua yang memiliki luas wilayah kabupaten dan kota rata-rata ribuan hingga puluhan ribu kilometer persegi. Meski wilayahnya sangat luas, jumlah sekolah yang ada terbatas. Dampaknya, persebaran pun tidak merata.
Setelah faktor ekonomi dan faktor teknis, pandangan sosiokultural keluarga dan masyarakat tentang penting atau tidaknya sekolah juga kerap kali menentukan keberlangsungan nasib siswa dalam melanjutkan pendidikan.
Di beberapa wilayah masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi. Dari angka statistik tahun 2006, hal ini dibuktikan oleh angka partisipasi sekolah di kelompok usia di atas 16 tahun.
Pada kelompok usia ini persentase siswa laki-laki yang bersekolah lebih banyak daripada siswa perempuan. Hal itu menampakkan preferensi keluarga untuk bersekolah lebih tinggi cenderung diberikan untuk anggota keluarga laki-laki.
Ancaman krisis
Persoalan putus sekolah tampaknya akan semakin berbelit jika berkaca pada situasi ekonomi negara saat ini yang sedang dilanda krisis. Apabila dikaitkan dengan semakin rapuhnya industri sehingga mengancam terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK), bukan mustahil angka putus sekolah akan semakin meningkat.(Litbang Kompas)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/12/00493050/putus.sekolah.masih.menjadi.masalah
Sektor Pendidikan Terabaikan
Oleh Indira Permanasari
Pada usia senjanya Ny Bona (57) masih pusing memikirkan biaya bagi dua anaknya yang bersekolah dasar dan menengah pertama. Sembilan anaknya yang lain sudah menikah dan mengurusi keluarga mereka. Sembilan anak itu tidak lulus sekolah dasar. Persis seperti Ny Bona dan suaminya.
Penghasilan suaminya sebagai kuli pencucian mobil Rp 20.000 per hari dan dari memulung gelas plastik yang mengambang di sungai sebesar Rp 45.000 sebulan. Sehari-hari Ny Bona dan anaknya memang tidur di bawah jembatan Karet Tengsin, Jakarta Pusat, tepat di atas kali berair kecoklatan.
"Pendidikan gratis apanya? Anak-anak saya putus sekolah soalnya tidak ada biaya. Orang bilang biayanya cuma berapa ribu, tetapi buat saya itu besar," ujar Ny Bona yang asli Cikarang, Bekasi, tetapi tidak punya tanah lagi di kampungnya itu.
Citra (9), putrinya yang masih duduk di kelas dua sebuah madrasah swasta itu, bahkan nyaris tidak bersekolah. Ny Bona takut memasukkan anaknya ke sekolah negeri karena belakangan ada biaya uang pangkal, buku, dan komite.
Sampai kemudian, seorang dermawan pengurus yayasan membiayai pendidikan Citra yang pernah tidak naik kelas.
Belakangan, dermawan itu keluar dari yayasan dan kini Ny Bona sudah sembilan bulan menunggak iuran Rp 35.000 per bulan dan uang buku Rp 45.000.
Dalam masa pemilu dan juga pilkada, curahan hati Ny Bona itu kerap ditangkap menjadi tema kampanye. Pendidikan menjadi barang "dagangan" menarik lantaran menyangkut langsung harapan perbaikan kehidupan. Sedekat apakah kampanye dengan kenyataan?
"Barang" publik?
Pembiayaan pendidikan tak lepas dari cara melihat pendidikan sebagai "barang" publik atau privat. Pendidikan sebagai barang publik berarti pemenuhannya tanggung jawab negara. Sebaliknya, sebagai barang privat, warga harus membayar guna memperoleh pendidikan.
Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof Soedijarto berpendapat, konstitusi menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pemerintah negara Indonesia dibentuk guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
"Dalam negara kesejahteraan, pendapatan negara untuk membiayai pendidikan, kesehatan, pertahanan negara, administrasi, dan infrastruktur dasar. Adapun sektor lain sebagai sumber pendapatan," ujarnya.
Sejauh mana tanggung jawab pemerintah terhadap biaya pendidikan di Tanah Air? Soedijarto meyakini semangat pendiri negara adalah meniru negara kesejahteraan di Eropa yang membiayai seluruh kebutuhan pendidikan. Pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi dipandang sebagai barang publik.
Pasal 31 Ayat 3 konstitusi menyatakan, setiap warga negara berhak atas pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar. Adapun pemerintah wajib membiayainya. Pemerintah juga mendapat tugas memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Terus berkelit
"Licinnya" pemerintah berkelit urusan membiayai pendidikan makin terlihat. Pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen yang telah digariskan dalam konstitusi menjadi contoh. Soedijarto mewakili ISPI bersama Persatuan Guru Republik Indonesia bolak-balik ke Gedung Mahkamah Konstitusi guna menguji UU APBN yang tidak memenuhi ketentuan 20 persen.
Pemerintah dan parlemen melegitimasi pemenuhan ketentuan itu secara bertahap melalui sejumlah keputusan bersama. Itu pun tidak dipenuhi. Belakangan, gaji pendidik dimasukkan dalam perhitungan 20 persen tersebut. Persentase itu menjadi tanpa makna. "Sebagian besar anggaran itu akan terpakai membayar guru, bukan peningkatan kualitas pendidikan," ujar Soedijarto.
Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan berpandangan serupa. Dia mencontohkan program wajib belajar. Dengan adanya kata "wajib", masyarakat seharusnya tidak dikenai biaya.
"Nyatanya, pemerintah hanya memberikan bantuan operasional sekolah yang besarannya tidak memadai," ujarnya. Bantuan operasional sekolah tahun 2009 cuma mencakup 70 persen biaya operasional pendidikan. Bantuan dana buku pelajaran hanya untuk dua pelajaran. Padahal, di jenjang SD saja ada 10 mata pelajaran.
Meresahkan masyarakat
Belakangan, terbitnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan meresahkan masyarakat. Pemerintah membagi pembiayaan antara pemerintah, masyarakat, dan satuan pendidikan yang setelah menjadi badan hukum nanti leluasa bergerak sebagai entitas. Termasuk dalam mencari dana. Pagar nirlaba, beasiswa, dan hibah yang diletakkan dalam undang-undang itu bakal sulit dikontrol pemenuhannya.
Pemerintah seakan ingin kompetitif di percaturan global, tetapi ngirit lalu berharap pengelola satuan pendidikan ikut "bekerja" mencari dana. "Jika pendidikan dipandang barang publik, akses harus berkeadilan bagi semua warga. Yang berbeda itu justru pajaknya dan cara pemerintah mengelola pendapatan agar itu terpenuhi," ujar Ade.
Keengganan menyediakan anggaran pendidikan, kata Ade, biasanya ada dua alasan. Pendidikan dianggap tidak memberikan dampak kepada penguatan kekuasaan. "Dampak keguncangan ekonomi langsung terasa dan pimpinan negara bisa di-impeach. Berbeda dengan pendidikan," ujar Ade.
Di samping itu, keberhasilan program pendidikan bersifat jangka panjang yang bisa jadi baru dinikmati pemerintahan setelahnya. Di sinilah diperlukan negarawan sejati berjiwa besar yang menempatkan kepentingan publik sebagai utama.
Kembali ke kolong jembatan Karet Tengsin. Sebagai warga negara, Ny Bona setia mengikuti pemilu. "Saya tetap nyoblos presiden, tapi ajaib kalau ada perubahan. Dari dulu, ya, tetap miskin dan bodoh. Saya inginnya, anak cukup datang bawa diri ke sekolah dan belajar biar pintar. Tapi, sekarang, untuk sekolah sangat sulit dan mahal" ujarnya.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/12/00500646/sektor.pendidikan.terabaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar