13 September 2008

Menjinakkan Tubuh Para Koruptor (Opini Triyono Lukmantoro)

Tidak ada toleransi bagi kejahatan korupsi di pusat maupun daerah. Demikian penegasan Presiden Susilo Bambang Yuhoyono saat menyampaikan keterangan pemerintah di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah, Jumat (22/8).

Pernyataan itu bukan penegasan politik yang baru. Bukankah pemberantasan korupsi menjadi ikon yang sengaja ditonjolkan pemerintah? Wacana kontemporer yang sedang berkembang lebih dari sekadar pengucapan tekad dan imbauan moral yang diulang-ulang lewat pidato kenegaraan semacam itu.

Pembicaraan yang bergulir jauh lebih progresif, yakni bagaimana memberikan hukuman maksimal kepada koruptor, sehingga mereka tidak lagi berani mengulangi perbuatannya dan pihak-pihak yang akan berbuat korupsi dilingkupi perasaan jera untuk melakukannya. Semua dilakukan karena korupsi dianggap berbahaya bagi kemaslahatan bersama. Setidaknya ada lima metode yang hangat didiskusikan guna menindak koruptor.

Pertama, tersangka, terdakwa, dan terpidana kasus korupsi menggunakan pakaian khusus. Kedua, terpidana kasus korupsi dipenjarakan di Nusakambangan. Ketiga, terpidana korupsi dikenai hukuman tambahan berupa kerja sosial. Keempat, wajah, identitas lengkap, dan jenis kejahatan yang dijalankan terpidana korupsi dibeberkan melalui publikasi yang masif sehingga masyarakat mampu mengaksesnya. Kelima, terpidana kasus korupsi dijerat hukuman mati.

Semua jenis hukuman bertujuan menimbulkan dampak jera secara efisien.

Tubuh para koruptor menjadi sasaran utama penghukuman, bukan sekadar dipermalukan, tetapi sengaja dihinakan. Kekuasaan yang dimiliki koruptor menjadikan mereka berbuat liar dan beringas. Ini menunjukkan tubuh para koruptor tidak berguna dan dirasakan amat menjijikkan dalam kehidupan sosial.

Tubuh terhukum

Model penghukuman yang bersifat sistematis dan diarahkan terhadap tubuh-tubuh pelaku kejahatan korupsi semacam itu mengingatkan pada kajian filosof Michel Foucault (1926-1984). Dalam karyanya Discipline and Punish (1977), Foucault mengkaji bagaimana kekuasaan mengerahkan teknik-teknik tertentu untuk menghunjamkan hukuman bagi pihak-pihak yang dianggap melanggar hukum. Dalam zaman monarki yang dikendalikan oleh raja, kalangan terhukum ditampilkan di hadapan publik.

Tubuh para terhukum disiksa karena dinilai melabrak ketentuan hukum sang raja. Aspek hukuman yang bersifat spektakuler sengaja dipertontonkan. Ini dimaksudkan agar orang lain mengalami ketakutan. Teater neraka itu disajikan dengan penuh efek teror. Tiap jenis hukuman yang melukai tubuh terhukum sengaja dibuat amat menyakitkan. Rasa sakit dan semua kepedihan pada tubuh terhukum merupakan bentuk balas dendam yang dikerahkan pemegang kekuasaan.

Puncaknya, hukuman bernama quartering dikenakan pada tubuh terhukum. Empat kuda menarik tubuh terhukum menuju empat arah berlawanan. Kesan kebrutalan sengaja disajikan kepada massa. Tujuannya, mengekalkan kekuasaan sang raja yang diserang para kriminal. Dampaknya, hujaman perasaan jera bagi masyarakat agar tak mengikuti kesalahan yang sama. Itulah praktik penghukuman dari kekuasaan monarki yang tak manusiawi.

Perubahan bentuk hukuman secara drastis terjadi pada era modern. Hukuman bukan dimaksudkan untuk memorakporandakan tubuh terhukum, tetapi merehabilitasinya. Agen-agen penghukuman menjadi bersifat pervasif, ada di mana-mana. Sistem pengawasan impersonal dilakukan. Koreksi yang bersifat memberikan perhatian pada aspek psikologis individual dijalankan. Itulah yang disebut sistem pemenjaraan yang dipraktikkan jenis kekuasaan yang mendisiplinkan. Sistem pengawasan itu bahkan diinteriorisasikan dalam diri tiap orang sehingga mereka menjadi pengawas terhadap diri sendiri.

Hasrat kedagingan

Keinginan untuk mengaplikasi hukuman yang langsung tertuju pada tubuh koruptor menunjukkan, sistem pemenjaraan yang dijalankan selama ini mengalami kegagalan. Kehendak menerapkan hukuman gaya kekuasaan monarkial pun mencuat. Bentuknya tentu bukan siksaan yang menghancurkan tubuh, tetapi "sekadar" menumbuhkan rasa malu.

Kegagalan pemenjaraan terjadi karena para koruptor mampu mengendalikan aturan pendisiplinan. Mereka tidak lagi obyek yang diregulasi kekuasaan. Bukankah kita sering mendengar orang kaya yang dipenjara dapat memesan jenis sel tertentu, yang dilengkapi kamar kerja dan dipasangi pengatur udara?

Nusakambangan tidak lagi identik sebagaimana Pulau Buru menjadi ajang pembuangan saat rezim Orde Baru menyingkirkan orang-orang yang dituding komunis. Nusakambangan layaknya tempat berlibur yang justru menenteramkan koruptor. Betapa sulit menjinakkan tubuh para koruptor karena sistem pendisiplinan yang bersifat modern mampu ditukar dengan setumpuk modal finansial dan jaringan kekuasaan politis yang fantastis.

Tidak terlalu janggal jika masyarakat menghendaki sistem penghukuman gaya penguasa feodal diterapkan lagi. Metode asepsis, dalam wujud penerapan kriminologi atau mengarantina tubuh koruptor, menjadi tidak mempan. Koruptor sebagai elemen sosial yang dibenci masyarakat justru leluasa membela diri dengan berbagai dalih yang terkesan rasional. Teknik supplice (eksekusi dan siksaan di hadapan publik) dianggap sebagai pilihan penghukuman terbaik. Bukankah gejala ini menunjukkan sistem pemidanaan kita mengalami degradasi? Ataukah tubuh koruptor sekadar dijejali hasrat kedagingan, mengabaikan kewarasan pikiran dan kejernihan nurani?

Triyono Lukmantoro Pengajar Filsafat dan Etika FISIP Universitas Diponegoro Semarang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/13/00401887/menjinakkan.tubuh.para.koruptor

Tidak ada komentar: