17 Juli 2008

Sumirnya PP Pendanaan Pendidikan

SP/Ruht Semiono - Penerimaan siswa baru di sekolah setiap tahun rawan pungutan liar.

Pengantar

Penerimaan siswa baru (PSB) kini sudah berlalu tanpa ada perubahan positif dibanding tahun sebelumnya. Pungutan liar dengan berbagai bentuk dan dalih masih marak, dan sangat membebani orangtua siswa. Pemerintah diharapkan melahirkan regulasi yang bisa meminimalisasi kasus pungli tersebut, ternyata terkesan malah membiarkan terus berlangsung. Buktinya Peraturan Pemerintah (PP) 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan, malah melegalkan pungutan pendidikan. Masalah ini disorot wartawan SP, Marselius Rombe Baan, Eko B Harsono dan Willy Masaharu berikut laporan dari Makassar, Sulawesi Selatan, dan Padang, Sumatera Barat soal pungutan saat PSB sebagai berikut:

Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan telah disetujui dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Juli 2008, namun PP itu tidak secara jelas mengatur larangan pungutan di sekolah. PP tersebut, bahkan seakan melegalkan terjadinya pungutan untuk pembiayaan pendidikan di satuan pendidikan sekolah negeri maupun swasta.

Pakar pendidikan dan Rektor Universitas Sahid, Prof Dr Hidayat Syarief mengatakan, harapan besar memang dimiliki masyarakat terhadap PP Pendanaan Pendidikan yang telah ditandatangani Presiden itu. "Tetapi, saya melihatnya PP tersebut justru kontradiksi dengan kebijakan wajib belajar yang tertuang dalam Undang-undang (UU) 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebab, dalam PP Pendanaan Pendidikan justru diatur soal pungutan. Ini jelas mencerminkan ambigu sikap pemerintah," ujarnya.

Menurut Hidayat, dengan terbitnya PP Pendanaan Pendidikan tersebut pihak sekolah dan juga pemerintah daerah akan kebingungan dalam melaksanakan program penuntasan wajib belajar yang telah dibiayai negara lewat program bantuan operasional sekolah (BOS). "Apakah ini berarti kebebasan untuk melakukan pungutan di sekolah dilegalkan oleh pemerintah," tanyanya.

Penilaian Hidayat itu tidak berlebihan. Beberapa pasal dalam PP Pendanaan Pendidikan tersebut, memang justru bisa menjadi payung hukum sekolah-sekolah melakukan pungutan dari siswa atau orangtua/wali murid.

Dalam Pasal 51 Ayat (4) huruf c Bab V tentang Sumber Pendanaan Pendidikan, misalnya disebutkan, dana pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (sekolah negeri-Red.), dapat bersumber dari pungutan peserta didik atau orangtua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal itu juga dijumpai dalam Pasal 51 Ayat (5) huruf c untuk sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah.

Sedangkan, untuk sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta-Red.), dalam Pasal 51 Ayat (6) huruf d, juga dimungkinkan pungutan dari orangtua/walinya yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Ketiga ayat ini bisa menjadi pembenaran bagi sekolah-sekolah negeri ataupun swasta memungut dana dari orangtua siswa/walinya dengan alasan bisa menjadi sumber pendanaan pendidikan sekolah bersangkutan.

Selain memberi peluang terjadinya pungutan, pasal ini juga tidak jelas merujuk pada aturan perundang-undangan mana, padahal dalam penjelasannya hanya disebutkan sudah jelas. Itu artinya, PP Pendanaan Pendidikan tersebut, sangat sumir dan mencerminkan tidak adanya niat pemerintah memberantas pungli di sekolah.

Dalam Pasal 52 ada elaborasi soal pungutan dimaksud dan dijelaskan bahwa pungutan tersebut tidak boleh bagi peserta didik atau orangtua/walinya yang tidak mampu secara ekonomi. Sayangnya, tidak ada penjelasan rinci soal kategori tidak mampu bagaimana yang ditoleransi.


Tidak Optimal

Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Sujanto sebelumnya mengatakan, PP tersebut diharapkan dapat dijadikan rambu-rambu dalam pelaksanaan PSB oleh masyarakat, pengelola, dan penyelenggara pendidikan. Menurutnya, dalam PP tersebut Mendiknas dan Menteri Agama, sesuai dengan kewenangannya masing-masing, dapat membatalkan pungutan apabila tidak sesuai dengan Pasal 52 PP itu.

"Mengenai pungutan oleh satuan pendidikan untuk memenuhi tanggung jawab kontribusi peserta didik, orangtua atau wali, dalam PP tersebut secara tegas disebutkan bahwa dana yang diperoleh harus disimpan dalam rekening atas nama satuan pendidikan. PP tersebut jelas menyebutkan bahwa pungutan yang didapat dari masyarakat harus dibukukan secara khusus oleh satuan pendidikan," ujar Sujanto.

Sedangkan, sanksi bagi penyelenggara dan pengelola pendidikan jika melakukan pungutan disesuaikan dengan ketentuan hukum. Dana yang diperoleh harus didasarkan pada perencanaan investasi atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis tahunan, serta anggaran pendidikan sekolah.

Sujanto mengingatkan, peserta didik atau orangtua dan wali murid yang miskin tidak boleh dikenai pungutan. Pihak sekolah juga harus menerapkan subsidi silang yang diatur sendiri oleh satuan pendidikan. Selain itu, katanya, penggunaan dana dan penerimaan harus diumumkan secara transparan kepada seluruh pemangku kepentingan di lingkungan sekolah.

Wakil Ketua Komisi X DPR, Heri Akhmadi menegaskan, PP Pendanaan Pendidikan sama sekali tidak mencerminkan upaya pemerintah pusat mengatur pelaksanaan PSB yang bebas pungli. Sampai saat ini sekolah masih terus "memeras" orangtua dan siswa, baik yang baru masuk maupun naik kelas.

"Sangat disesalkan, setiap kali masyarakat dan DPR menanyakan kepada Mendiknas soal pungutan PSB, tetapi Mendiknas Bambang Sudibyo selalu berdalih bahwa hal itu kewenangan pemerintah daerah. Padahal, seharusnya lewat PP Pendanaan Pendidikan tersebut, pemerintah pusat juga mengatur dan memberi rambu-rambu," ucapnya.

Heri mengatakan, sebelum masa reses pada pekan depan, Komisi X DPR akan memanggil Mendiknas untuk mendapatkan penjelasan lebih rinci mengenai PP tersebut, sekaligus membahas pungutan PSB. Seperti diberitakan harian ini sebelumnya, di DKI Jakarta, Depok dan sejumlah daerah lainnya, pungutan PSB sangat memberatkan orangtua, apalagi ada pungutan pendaftaran ulang untuk siswa yang naik kelas di sekolah swasta ataupun negeri. *

Pungutan Haram Dibiarkan

Pengemudi ojek berambut cepak itu, bernama Sukaryo (42). Biasa mangkal di depan Rumah Sakit UKI, Cawang, Jakarta Timur untuk mengantar pelanggan dan pengguna jasa angkutan ojeknya ke sejumlah tempat di ibu kota. Bapak tiga orang anak yang dua di antaranya masih bersekolah di SD dan SMP ini sebelumnya adalah Satuan Pengamanan (Satpam) salah satu perusahaan obat di kawasan Bogor, Jawa Barat.

"Saya di-PHK (pemutusan hubungan kerja) sekitar empat tahun lalu, untuk menyambung hidup saya mengojek. Lumayan Mas penghasilan saya sehari sekitar Rp 40.000. Tapi kalau musim penerimaan siswa baru seperti sekarang ini, saya pusing, anak saya yang sulung mau masuk SMP. Syukur dia diterima negeri, tapi kok belum-belum komite sekolahnya minta kita bayar Rp 500.000. Padahal, sumbangan untuk sekolah baru dirapatkan bulan Agustus nanti," keluh Sukaryo.

Dia mengaku dirinya dan sejumlah temannya yang mempunyai anak dan akan melanjutkan ke jenjang berikutnya harus tabah ketika pertama kali melakukan pertemuan dengan panitia penerimaan siswa baru (PSB) dan Komite Sekolah. "Saya orang kecil Mas, mana berani komentar, protes atau bersuara keras di sekolah agar jangan memungut terlalu mahal. Saya takut nanti anak saya yang jadi korban di kelas dikucilkan guru dan sekolahnya,"ujarnya.

Hal yang sama juga dikeluhkan Sapta Nugraha tampak kesal. Bagaimana tidak? Flavia, putrinya, yang baru naik ke kelas 4 di salah satu SD negeri bergengsi di Kota Bogor ini diharuskan melakukan daftar ulang dan membayar berbagai perlengkapan sekolah.

"Memang registrasi ulang tidak bayar. Tapi, saat daftar ulang, pihak sekolah langsung menyodorkan kebutuhan siswa. Salah satunya adalah membayar uang buku sebesar Rp 359.000. Ya jelas berat bagi saya," kata dia, saat berbincang dengan SP, di Jakarta, Selasa (15/7).

Dia melanjutkan, uang sebanyak itu untuk 7 buku mata pelajaran. "Orangtua siswa yang lain sebenarnya juga mengeluhkan ini. Tapi, pihak sekolah bilang, masalah pembayaran uang buku sudah didiskusikan dan disetujui oleh komite sekolah," katanya.

Menurut pengamat pendidikan dari Majelis Pendidikan Taman Siswa, Darmaningtyas, keluhan ini bisa dimaklumi. Pasalnya, yang jadi komite sekolah itu biasanya orang-orang dekat kepala sekolah. Juga umumnya tidak faham tugasnya sebagai komite sekolah, karena mereka sebelumnya tidak punya referensi apa itu komite sekolah.

"Satu-satunya referensi adalah iklan di televisi pada saat menjelang pembentukan Komite Sekolah yang memperlihatkan tugas komite sekolah adalah menambal genteng yang bocor dan sejenisnya. Fungsi kontrol komite sekolah terhadap kebijakan kepala sekolah (Kepsek) tidak tampak," ujar Darmaningtyas.

Senada dengan itu, mantan Sekjen Depdiknas, Prof Dr Hidayat Syarif menilai, selama ini di sejumlah sekolah kehadiran komite sekolah hanyalah sebagai bagian formalitas semata. Dan pihak orangtua atau wali murid juga tidak mengetahui secara mendalam fungsi dan peran komite sekolah di setiap satuan pendidikan.

"Tidak sedikit yang beranggapan bahwa komite sekolah memiliki peran seperti BP3 pada masa lampau, yaitu badan yang bertugas sebagai pengumpul dana bantuan untuk pendidikan atau badan justifikasi belaka. Pemberlakuan manajemen berbasis sekolah membawa implikasi kepada sekolah tidak menjadi subordinat lagi dari pemerintah maupun yayasan, tetapi bersifat otonom," ujarnya.

Pendekatannya pun tidak birokratis lagi, melainkan profesional, sehingga yang terjadi di lapangan. Banyak sekali pengurus komite sekolah yang sengaja ditunjuk oleh kepala sekolah adalah orangtua murid yang kaya.

"Paradigma komite sekolah harus diubah. Komite sekolah bukan alat kepala sekolah dan terlibat konspirasi pendanaan pendidikan. Keputusan jangan diambil sedikit orang, ruang partisipasi harus dibuka, sehingga suara orangtua atau walimurid yang tidak mampu dapat didengar," ujar Ketua Umum Forum Guru Independen, Suparman.

Tukang Stempel

Menurut dia, realita yang sering terjadi di masyarakat saat ini adalah banyak sekali komite sekolah yang lebih bersifat "formalitas" tanpa aktivitas yang berarti alias "tukang stempel". Sementara di sisi lainnya banyak pula komite sekolah yang sangat "independen" terhadap kepala sekolah, dan biasanya komite sekolah ini sangat aktif melaksanakan kegiatan secara mandiri dan terkesan "oposan" bagi kepala sekolah.

Jika komite sekolah tegas berpihak kepada kepentingan masyarakat miskin, pungutan di sekolah tidak akan jadi masalah. "Melalui komite sekolah, masyarakat atau orangtua murid sebagai penyumbang dana pendidikan di satuan pendidikan berhak menuntut sekolah apabila pelayanan dari sekolah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan," ujarnya.

Di samping itu, masyarakat melalui komite sekolah berhak mengetahui berbagai kucuran dana yang mengalir ke sekolah, karena pada era reformasi ini transparansi dan akuntabilitas sangat diperlukan. Komite sekolah secara legal mulai digulirkan sejak 2 April 2002 meski fungsinya bisa saja secara spesifik lokal telah ada yang menjalankan jauh sebelumnya. Konsep pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah yang terkandung di dalamnya memerlukan pemahaman berbagai pihak terkait, di mana posisinya dan apa manfaatnya.

Posisi komite sekolah berada di tengah-tengah antara orangtua murid, murid, guru, masyarakat setempat, dan kalangan swasta di satu pihak dengan pihak sekolah sebagai institusi, kepala sekolah, dinas pendidikan wilayahnya, dan pemerintah daerah di pihak lainnya. Komite sekolah menjembatani kepentingan keduanya.

Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengungkapkan, hasil monitoring ICW di lima kota besar Indonesia, ditemukan berbagai penyimpangan bersifat sistematis yang dilakukan pihak sekolah saat PSB tingkat SD.

Dia melanjutkan, selama musim PSB tahun 2007 lalu, ICW telah ditemukan 131 kasus dugaan pungli di sejumlah kota di Indonesia. Penyebabnya sederhana, yakni tidak ada aturan resmi dari pemerintah yang mengatur PSB. Besaran pungli itu antara Rp 250.000 sampai Rp 7 juta dengan dalih untuk pakaian seragam, formulir pendaftaran, pembangunan, dan lembaran kerja siswa.

Sementara, untuk tahun 2008 Posko pengaduan pungutan PSB sampai kini telah menerima 67 pengaduan dari sejumlah daerah. Kisaran pungutan, Ade mengatakan, pada tahap pendaftaran masih kecil, yakni sekitar Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000. "Tapi, pada fase ini rawan jual beli kursi. Ada orangtua calon siswa SD di Cakung, Jakarta Timur, seharga Rp 1,5 juta," katanya.

Di sebuah SMA negeri di Jakarta Timur yang mewajibkan biaya lapor diri sebesar Rp 409.000 (iuran bulan Juli Rp 295.000, iuran OSIS Rp 90.000 dan koperasi siswa Rp 24.000). Ada pula pungli di sebuah SMA negeri di Jakarta Pusat yang mewajibkan siswa membayar uang komite sekolah untuk bulan Juli sebesar Rp 150.000.

Diterangkan, terjadinya pungli saat PSB diduga karena tidak adanya aturan tegas mengenai PSB. Selain itu, kursi yang tersedia lebih sedikit daripada permintaan calon siswa baru.

Karena itu, katanya, maraknya pungli yang terjadi di sekolah bisa jadi karena Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) seolah membiarkan hal pungutan uang haram itu terjadi. "Aturan PSB setiap daerah berbeda. Sementara PP Pendanaan Pendidikan yang diharapkan mampu mengatur persoalan itu ternyata tidak memuatnya," kata Ade. *

Kejaksaan Negeri Makassar Mulai Incar Kasus Pungli di Sekolah

SP/M Kiblat Said

Tim seleksi penerima siswa baru SMP Negeri 8 Makassar, Selasa (1/7) memeriksa nilai ujian akhir nasional atau nilai ujian sekolah berstandar nasional calon siswa yang mendaftar, mereka yang tidak memenuhi standar nilai rata-rata ditolak.

Maraknya pungutan yang tak kunjung dikeluhkan orangtua siswa setiap tahun, harus diberantas. Untuk memberantasnya, tak cukup hanya dengan teguran basa-basi dari pejabat, karena toh hanya akan dianggap angin lalu.

Kalau mau membuat jerah parah pelaku pungutan liar (pungli) di sekolah, tak ada cara efektif lainnya kecuali diseret ke meja hijau. Apalagi, pungli itu termasuk kategori korupsi yang harus diperangi bersama.

Kira-kira semangat seperti itulah yang sedang menyadarkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar, Sulawesi Selatan yang berniat akan memeriksa sejumlah kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri di kota itu yang melakukan dalam penerimaan siswa baru (PSB).

Kejari sudah membentuk tim untuk menyelidiki dugaan pungli yang dilakukan sejumlah sekolah negeri di Makassar.

Hal itu dikemukakan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Makassar, Isa Ansyari di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (15/7) pagi. Dikatakan, langkah itu dilakukan menyusul adanya laporan orangtua siswa soal pungli saat PSB.

Laporan sementara yang diterima mengatakan, pungutan pada sejumlah SMP, SMA, maupun SMK Negeri mengatasnamakan sumbangan pembangunan atau dana komite, jumlahnya jutaan rupiah dan itu patut dipertanyakan. "Kami minta masyarakat pro aktif, laporkan ke kejaksaan jika terkena pungli di sekolah, pasti kami tindaklanjuti," ujarnya.

Menanggapi pungli di sekolah, Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Kadis Diknas) Sulsel, A Patabai Pabokori secara tegas mengatakan, itu pelanggaran hukum. Tidak ada alasan bagi sekolah untuk melakukan pungli, sebab ada bantuan operasional sekolah dari pemprov yang akan segera dicairkan

Patabai mengatakan, setiap siswa berhak menolak jika ada pungutan, apalagi Sulsel sudah menerapkan program pendidikan gratis. Penjabat Wali Kota Makassar, Andi Herry Iskandar sangat mendukung sikap kejaksaan dan meminta para kepala sekolah negeri dari tingkat SD sampai SMA yang terlibat untuk dikenakan sanksi.

Sejumlah SMA Negeri di Makassar menetapkan biaya masuk antara Rp 1,5 juta hingga mencapai Rp 4 juta per siswa saat pendaftaran ulang. Sedangkan, lewat jalur percaloan mencapai Rp 7 sampai Rp 10 juta.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Makassar, Syamsu Niang yang juga Ketua Umum Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru (FK-PAGI) membenarkan hal itu. Menurutnya, berbagai cara dilakukan sekolah setiap musim penerimaan siswa untuk mengeruk keuntungan. "Kita harus memberi dukungan kejaksaan, sebab pungli di sekolah sudah merajalela dan selama ini tidak tersentuh hukum," tandasnya.

Padang

Sementara itu, temuan tersebut hasil investigasi Badan Koordinasi Anti Korupsi (Bako) Sumatera Barat (Sumbar) yang terpantau melakukan pelanggaran tersebut, terbagi atas 40 buah SD, 23 buah SMP, 1 buah MTs dan 16 buah SMA yang tersebar di Kota Padang. Kasus itu juga akan dilaporkan ke Kejari setempat.

Ketua BAko Sumbar, Charles Simabura mengatakan, pungutan yang dilakukan sekolah semakin menjadi-jadi. Harusnya, pungutan disesuaikan dengan kocek masyarakat, ditambah beban hidup yang semakin tinggi.

"Panitia PSB harusnya berpikir rasional dalam melakukan pungutan. Jangan sampai hak-hak siswa yang ingin menuntut ilmu, terbelenggu hanya karena pungutan yang tak mampu mereka bayar," kata Charles pada rapat dengar pendapat dengan Komisi D DPRD Kota Padang, Senin (14/7).

Sementara itu, Divisi Pelayanan Publik BAko Sumbar, Yunasti Helmi menyebutkan, pungutan yang dilakukan sekolah tersebut, sudah termasuk kategori korupsi dan akan dilaporkan ke Kejari. Sebab, tidak ada payung hukum yang jelas sebagai dasar pembebanan pungutan tersebut kepada pihak siswa. [BO/148]


Pencegahan Pungli di Sekolah

Terapkan APBS Partisipatif

[JAKARTA] Maraknya berbagai pungutan liar (pungli) di sekolah lebih diakibatkan tidak transparannya institusi pendidikan dalam mengelola keuangannya. Karena itu, salah satu upaya preventif mencegah pungli yang akan bermuara kepada korupsi di sekolah adalah penyusunan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) partisipatif.

Demikian benang merah dalam diskusi bertajuk "APBS Partisipatif," di Jakarta, Selasa (15/7). Acara yang digagas Indonesia Corruption Watch (ICW) ini dihadiri sejumlah lembaga swadaya peduli pendidikan.

Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan mengemukakan, tidak transparannya satuan pendidikan dalam mengelola anggarannya merupakan faktor utama terjadinya pungli. "Sering kali terjadi, anggaran sekolah tidak dibeberkan ke publik. Padahal, masyarakat sangat berhak tahu apa dan bagaimana kondisi dan peruntukan anggaran tersebut," katanya.

Handaru Widjatmiko dari Aliansi Orangtua Peduli Transparansi Dana Pendidikan mengungkapkan, banyak sekolah yang tidak memiliki APBS atau kalau pun memiliki, dibuatkan secara massal oleh dinas pendidikan. "Padahal APBS merupakan dasar penyusunan program dan biaya di sekolah," katanya.

Dikemukakan, APBS merupakan rumusan panduan bagi pelaksanaan kegiatan di sekolah dalam satu tahun yang mengambarkan distribusi hak dan kewajiban antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, sekaligus menjadi perwujudan amanah orang tua siswa pada penyelenggara sekolah untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

"APBS menjadi sangat penting karena dalam penyusunan maupun pelaksanaan APBS melibatkan berbagai pihak dalam sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, komite sekolah, maupun masyarakat," katanya.

Hentikan

Praktik pungutan di lingkungan sekolah, sesungguhnya sudah marak terjadi sebelum pelaksanaan penerimaan siswa baru (PSB) dilakukan. Biasanya begitu anak naik kelas, orang tua harus mempersiapkan uang daftar ulang atau registrasi ulang. Belum lagi, sejumlah guru tanpa malu-malu meminta bingkisan kenang-kenangan atau tanda kasih karena selama setahun telah bersama sang anak di dalam kelas.

"Sedangkan bagi anak kelas tiga mereka harus membayar uang perpisahan, membeli toga atau seragam perpisahan dan lain-lain. Semua itu merupakan pungutan tidak resmi yang terjadi di lingkungan sekolah dan nyaris setiap tahun terjadi. Saya sangat sedih menyaksikan orang tua dan wali murid yang terus menerus menjadi sapi perahan pihak sekolah dalam bentuk aneka pungutan itu," ujar Majelis Pendidikan Taman Siswa, Darmaningtyas.

Ironisnya, lanjut Darmaningtyas, hal ini sesungguhnya sudah secara jelas dilarang dan setiap tahun pihak Dinas Pendidikan di daerah membuat surat edaran ke sekolah agar hal ini dihentikan, namun dalam praktiknya senantiasa dilakukan.

"Jika saja pemerintah daerah berani membuat perangkat hukum dan menindak tegas para kepala sekolah yang nakal seperti itu, pungutan tidak akan dilakukan oknum guru dan sekolah," ujarnya.

Hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) beberapa waktu lalu terungkap bahwa pungutan menjadi keluhan tertinggi, disusul dengan keluhan masalah buku pelajaran, penerimaan murid, dan sisanya pengaduan menyebar pada masalah-masalah lain, yaitu ujian, bantuan operasional sekolah (BOS), proses belajar mengajar, infrastruktur dan pengelolaan SDM.

Berdasarkan data yang diperoleh dalam bulan pengaduan tersebut paling banyak pengaduan berasal dari orangtua siswa dan sekolah dasar menjadi urutan yang tertinggi dari segi level pendidikan yang banyak dikeluhkan, yaitu sebanyak 41 persen.

Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo menjelaskan, dari penyebaran lokasi pengaduan, Jakarta menjadi tempat asal terbanyak datangnya laporan pengaduan, dibanding wilayah Bogor, Bekasi, Tangerang dan Depok. [W-12/E-5]



Mendiknas Akan Dipanggil DPR

[JAKARTA] Anggota Komisi X DPR Cyprianus Aoer mengatakan, maraknya pungli di sekolah mengindikasikan kegagalan pemerintah dalam melakukan pengawasan internal. "Berkaitan dengan itu, Komisi X akan memanggil Mendiknas sebelum masa reses," katanya, saat dihubungi SP, Selasa (15/7).

Pemanggilan Mendiknas, katanya, dimaksudkan untuk mempertanggungjawabkan kinerja departemennya yang seolah tutup mata terhadap fenomena pungli di dunia pendidikan. "Pungli saat PSB dari tahun ke tahun meningkat di luar harga standar resmi dan ini menjadi keluhan banyak orangtua murid. Ini kan bentuk komersialisasi pendidikan.

Bentuk pungutan itu selain membebankan masyarakat juga berlawanan dengan Undang-undang (UU)," katanya.

Dikatakan, permasalahan pungli saat PSB tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Pendanaan pendidikan. Namun kata Cyprianus, soal pungutan di dunia pendidikan akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang digodok anggota dewan bersama pemerintah.

"Dalam RUU BHP itu sudah ada kata kesepakatan antara pemerintah dan DPR, bahwa 20 persen dari populasi siswa di satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, akan dialokasikan untuk masyarakat miskin," tuturnya.

Selain itu, lanjutnya, DPR juga akan meminta pemerintah pusat, untuk mencantumkan batas maksimal pungutan yang dilakukan sekolah atau pun perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta kepada calon peserta didik yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke bawah.

Tindak tegas

Mendiknas Bambang Sudibyo sendiri meminta Dinas Pendidikan dan Bawasda menindak tegas sekolah-sekolah yang melakukan pungutan saat PSB. Sebab, dalam petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis soal bantuan operasional sekolah (BOS), tidak boleh ada lagi pungutan.

"Seharusnya, Dinas Pendidikan menindak tegas dan menertibkan sekolah-sekolah yang masih saja melakukan pungutan," katanya, seusai melantik sejumlah pejabat di lingkungan Depdiknas, Senin (14/7).

Mendiknas mengatakan, Depdiknas tidak bisa memberikan sanksi kepada sekolah-sekolah di daerah karena terkait otonomi daerah. "Dinas Pendidikan yang seharusnya menindak tegas," kilahnya.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas Muhadjir menambahkan, sepanjang penyelewengan program yang anggarannya bersumber dari APBN, Inspektorat Jenderal (Irjen) Depdiknas akan melakukan pengecekan. Kalau pungutan yang terjadi di sekolah padahal dana BOS sudah digelontorkan, bisa saja Irjen yang mengeceknya.

Dicontohkan, pungutan yang terjadi di sekolah di wilayah Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta. Irjen mengirim surat kepada Wali Kota Yogyakarta bernomor 3.459/B/WS.2008 tanggal 23 Mei 2008 untuk menindaklanjuti temuan dan melakukan langkah-langkah perbaikan sesuai peraturan perundangan-undangan. [W-12/E-5]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/16/index.html

Tidak ada komentar: