28 Mei 2008

Pendidikan Nonformal - Menempa Anak Jadi Perajin Andal

Sejumlah anak mengerjakan tugas di sebuah sekolah alternatif, di Kuningan, Jakarta. Sekolah tersebut menampung anak-anak kurang mampu di kawasan itu untuk dapat merasakan pendidikan yang diberikan secara gratis. SP/YC Kurniantoro

Wahyudin (20 tahun) asyik membuat sketsa di atas kertas kalkir berukuran 80 cm x 120 cm. Dengan tekun, dia membuat tiga baris kalimat dalam bahasa Arab, disebut juga kaligrafi. Kalimat bernuansa Islami itu dilukisnya dengan penuh perasaan dan semangat. Membuat sketsa dilakoninya selama tujuh jam.

Wahyudin, siswa Paket B pondok pesantren di Bogor, Jawa Barat, mengaku sangat bangga dengan keterampilan yang dimilikinya itu. Berkat keterampilan hidup yang didapat dari program Paket B, dia setiap hari mendapat tambahan uang saku sekaligus dapat terus belajar. Belajar memang tidak harus di bangunan dan gedung sekolah yang bagus.

Buat orang seperti Wahyudin, dengan belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau Sanggar Belajar Masyarakat, justru lebih bermakna, karena dia akan mendapat bekal keterampilan hidup lebih banyak bagi dirinya dikemudian hari. Kalau tidak ada order, dia terus berlatih agar lukisan semakin bagus.

"Saya bersyukur ada program pendidikan seperti ini. Selain bisa terus bersekolah, saya dapat keterampilan yang dapat saya jadikan bekal hidup. Satu lukisan yang saya kerjakan ini bisa dijual Rp 1 hingga 1,5 juta. Modal untuk beli alat lukis, cat, dan bingkai hanya Rp 400.000. Biasanya pak ustadz dan guru-guru sudah dapat pesanan, jadi kami jarang menganggur," ujarnya polos.

Upaya mendidik siswa pondok pesantren yang mengambil program Paket B ini merupakan hasil jerih payah Willy Oktaviano (39), dosen Bahasa Arab, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

"Saya merintis program keterampilan hidup kaligrafi siswa Paket B ini sudah satu tahun. Program pemberdayaan siswa pesantren ini kami lakukan sebagai bagian dari bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dikembangkan oleh Fakultas Filsafat Islamiyah, UIN Jakarta. Insya Allah akan kami kembangkan ke pesantren lain di Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Kami bersyukur, Direktorat Pendidikan Kesetaraan Depdiknas banyak membantu kami," ujarnya.

Kerajinan Sandal

Kelom geulis atau sandal khas Tasikmalaya, Jawa Barat, beralas kayu damar atau albasia menjadi primadona yang cukup diandalkan. Komoditas ini ditekuni sejak tahun 1960-an dan sempat mengalami puncaknya dua puluh tahun kemudian. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Tasikmalaya menggelar pendidikan keterampilan dengan membuat kelom geulis.

"Keterampilan hidup membuat sandal ini sudah tiga tahun lalu. Polanya, kami memagangkan siswa ke perusahaan sandal terkemuka, salah satunya Mandiri Snoopy dan Kelom Geulis. Setelah enam bulan magang, mereka akan mendapatkan keterampilan dan menguasai sepenuhnya bagaimana membuat sandal," ucap Juanda, tutor SKB Kota Tasikmalaya.

Menurut Juanda, industri kerajinan rakyat Kota Tasikmalaya tidak bisa dipandang sebelah mata meski bukan tergolong padat modal dan berteknologi tinggi. Tenaga kerja yang terlibat dalam industri kerajinan ini mencapai 70.601 orang. Jumlah tersebut merupakan 95 persen pekerja industri di kota ini.

Maraknya sektor industri mempengaruhi majunya perdagangan di wilayah ini. Hasil karya seni masyarakat yang unik menjadi salah satu daya tarik orang luar daerah. Mereka datang berbelanja kebutuhan sendiri atau untuk kulakan.

Ramainya pusat perbelanjaan, baik pasar tradisional maupun modern, menjadi salah satu simbol bergairahnya transaksi jual-beli di kota ini, yang jumlahnya masing-masing enam unit serta dapat menampung 7.668 pedagang.

Sedangkan Cirebon dan Pekalongan dikenal sebagai "Kota Batik" dan telah berkembang begitu pesat, dan menjadi salah satu penopang perekonomian kota itu. Sebuah industri batik bernama EB Batik Tradisional milik Edi Baredi di Jalan Penembahan Utara Cirebon, ikut memproduksi batik. Sebagian perajinnya adalah siswa Paket B dan C.

Kompetensi Siswa

Direktur Kesetaraan Depdiknas, Ella Yulaelawati, mengatakan, program kemitraan dengan sejumlah lembaga seperti UIN Jakarta, Sanggar Kegiatan Belajar Masyarakat Tasikmalaya, dan kalangan pelaku usaha EB Batik, terbukti memiliki kepedulian kuat untuk melaksanakan program keterampilan hidup bagi siswa Paket B dan C. Ini dinilai sebagai sebuah sinergi yang kuat untuk memberdayakan serta membentuk hasil pendidikan kesetaraan.

"Peran pemerintah hanya mendorong serta memotivasi agar sinergi membangun sebuah pendidikan dengan hasil akhir siswa memiliki kecakapan hidup sebagai bekal di masa depan. Karena basis dari pendidikan kesetaraan sesungguhnya selain akademik, tentunya membentuk peserta didiknya secara utuh dengan kompetensi keterampilan hidup baik," ujar Ella.

Dia menjelaskan, pemerintah menyediakan juga bantuan bagi para siswa tersebut setelah nantinya mereka dinyatakan lulus secara baik, dengan keterampilan hidup yang dianggap sesuai dengan ketentuan asosiasi atau lembaga profesi. "Yang jelas, kemitraan seperti itu dan program keterampilan hidup dengan melibatkan peran serta pelaku usaha akan terus kami bangun. Apalagi jika program pemagangan dapat dilakukan," tuturnya. [SP/Eko Budi Harsono]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/05/28/index.html

Tidak ada komentar: